Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Derita Warga di Pinggir Rimba Aceh

Kompas.com - 29/05/2016, 07:58 WIB
Masriadi

Penulis

LHOKSEUMAWE, KOMPAS.com - Sejumlah kendaraan melambat di jalan berbatu Desa Alue Bungkoh, Kecamatan Pirak Timu, Aceh Utara, Sabtu (28/5/2016). Jam menunjukkan angka 10.49 WIB.

Tiga sepeda motor berdiri di sisi jalan yang dikenal dengan sebutan line pipa, memberi ruang untuk dump truck melintasi jalan berkubang itu. Di belakang truk berwarna kuning melintas sebuah mobil Toyota Avanza hitam mengikuti. Juga ekstra hati-hati. Khawatir, ban mobil terperosok ke kubangan dan tak bisa digerakan lagi.

Ketika dua mobil itu melewati kubangan, barulah sepeda motor mengambil alih melalui jalanan.

Pandangan seperti itu bukan kali pertama di kawasan pedalaman Aceh Utara ini. Daerah ini merupakan daerah pinggiran hutan. Salah satu kawasan terpencil di kabupaten yang dulu dijuluki kota petro dollar tersebut.

“Harus hati-hati kalau ingin mobil tidak tertancap di kubangan dan kita harus repot mengajak warga untuk mendorongnya,” sebut Mahdi, salah seorang sopir yang melintas.

Saya pun melakukan hal yang sama dengan Mahdi. Menginjak pedal gas perlahan sembari memilih jalan yang relatif bisa dilalui. Bebas dari lumpur bercampur air pekat.

Untuk menuju kawasan pedalaman ini membutuhkan waktu sekitar satu jam lebih arah timur Kota Lhokseumawe. Jalan itu merupakan akses utama yang menghubungkan kawasan pinggiran rimba itu menuju kecamatan lainnya. Era 1980an, jalan ini relatif mulus.

Saat itu, Mobil Oil-perusahaan eksplorasi minyak asal Amerika-masih beroperasi, di kawasan ini terdapat sejumlah sumur minyak dan gas (Migas). Pada era 1990an, jalan ini pun relatif mulus. Sumur minyak di Aceh Utara beralih tangan ke ExxonMobil.

Seiring ExxonMobil menutup kegiatan di Aceh, bekas sumur dan semua asetnya dikembalikan ke Pertamina Hulu Energi, sebagai badan usaha milik negara yang mengelola Migas.

“Sangat sulit membawa hasil pertanian ke pasar di kecamatan lainnya atau ke Lhokseumawe. Jalanan terlalu buruk. Sebaliknya, barang yang di bawa pengecer kemari juga jadi mahal,” sebut Ishak, warga di kawasan itu.

Dia mencontohkan, jika harga ikan di Lhokseumawe hanya 14.000 per kilogram, tiba di desa itu bisa sampai 35.000 per kilogram. Melonjak drastis.

“Sementara hasil pertanian yang dibeli pengepul ke desa jauh lebih murah. Karena wajar saja, kan pengepul harus berhitung dengan kerusakan sepeda motornya akibat jalan yang buruk ini,” terang Ishak.

Itu baru soal jalan berkubang. Derita lainnya, krisis air bersih. Musim kemarau seluruh sumur warga mengering. Satu-satunya sumber air adalah sungai nan keruh.

“Tak ada pilihan, kami harus mengangkut air dari sungai. Air keruh itu kita saring dulu, baru bisa diminum,” terang Siti Rahimah, warga lainnya.

Pipa air bersih milik Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) Tirta Mon Pase telah dibangun empat tahun lalu di kawasan itu. Namun, hingga kini suplai air bersih ke rumah penduduk belum bisa dilakukan.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com