Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Supaya Tidak Melanggar HAM, Hukum Pelaku Kekerasan Seksual 200 Tahun

Kompas.com - 19/05/2016, 12:56 WIB
Kontributor Medan, Mei Leandha

Penulis

MEDAN, KOMPAS.com - Pusat Kajian dan Perlindungan Anak (PKPA) Medan menilai, hukuman mati atau kebiri kepada pelaku kekerasan seksual masih menjadi perdebatan, terutama dari asepk HAM.

Oleh karena itu, PKPA menilai, hukuman seumur hidup atau 100 tahun lebih tepat diterapkan kepada pelaku pidana asusila.

Contohnya negara Amerika dan Norwegia yang tidak mengenal hukuman mati atau kebiri. Dua negara ini menghukum pelaku kekerasan selama ratusan tahun.

"Hukumannya diberatkan, 100 atau 200 tahun. Jadi tidak akan mungkin bebas lagi. Pastinya negara tidak melanggar HAM karena tidak membunuh mereka secara langsung, tapi para pelaku tidak memiliki hak apa-apa lagi untuk bersosialisasi dengan masyarakat," kata Misran Lubis, direktur Eksekutif PKPA Medan, Kamis (19/5/2016).

Di Indonesia, membawa pelaku ke ranah hukum sering terhambat sebab alat bukti penyidikan masih fokus pada kekerasan seksual alat kelamin. Tanpa ada kerusakan pada alat kelamin, maka visum at repertum tidak bisa membuktikan. Dampaknya adalah para pelaku kekerasan seperti paedofilia dan sejenisnya dihukum ringan.

Selain mencari pola hukuman terberat untuk pelaku, yang paling penting adalah mencari pola agar semua kejahatan seksual bisa dihadapkan ke proses hukum.

"RUU Penghapusan Kekerasan Seksual itu belum ada, masih dalam pembahasan. Kita juga tidak mendorong untuk segera mengesahkan Perppu Hukuman Mati, Kebiri dan sebagainya karena ini semangat emosional. Jangan sampai keinginan kita untuk segera mengesahkan itu, tiga bulan kemudian ada pihak yang menggugat ke MK, batal lagi," ucapnya.

Alasannya, di dalam perppu banyak yang tidak relevan dengan hak azasi manusia (HAM) yang diakui Undang-undang Dasar 45.

Makanya, PKPA bersama Jaringan Perlindungan Anak (JPA) Indonesia dan JPA Sumatera Utara lebih mendorong Undang-undang Penghapusan Kekerasan Seksual sebab bisa melihat bagaimana cara pelaku dibawa ke proses hukum dan bagaimana para korban bisa mendapatkan pelayanan yang maksimal.

Untuk Kota Medan, harapan masyarakat agar kota metropolitan keempat di Indonesia ini bisa menjadi kota ramah anak dan perempuan, Misran mengaku masih pesimistis.

Padahal, pihaknya sudah mendampingi Pemkot Medan. Sudah banyak draf yang didiskusikan, tinggal menunggu komitmen baru dari pimpinan Kota Medan yang baru.

Misalnya, untuk anak-anak yang berhadapan dengan hukum sudah terbentuk forum difersi. Untuk anak-anak korban kekerasan seksual, perdagangan manusia dan sebagainya sudah tersedia Rumah Aman dan Pusat Pelayanan Terpadu Perempuan dan Anak (P2TPA).

"Tinggal menunggu respons dan komitmen politik Pemkot Medan, sampai sekarang saya lihat sangat rendah. Rendah ya, bukan tidak ada sama sekali. Ada, tapi sangat jauh sekali," katanya.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com