Kawasan yang harusnya dilindungi itu dirambah oleh orang-orang yang tidak peduli akan fungsi hutan sebagai penyuplai oksigen atau paru-paru dunia.
Pernyataan menyedihkan tentang TNTN tergambar jelas dari paparan Tim Ekspedisi Taman Nasional Tesso Nilo (TNTN) pada Kamis (3/3/2016) di Pekanbaru. Tim Ekspedisi berisikan komponen dari unsur Balai TNTN, TNI, World Wildlife for Fund Riau, Green Radio, dan unsur Masyarakat, menyusuri kawasan hutan tersisa sejauh 39 kilometer selama 12 hari dari satu garis utara ke selatan.
Nur Ainun, salah seorang anggota Tim Ekspedisi dari 13 anggota tim, tidak dapat menyembunyikan kesedihan tatkala menjumpai hamparan luas hutan yang terbuka dengan tingkat kerusakan sangat parah. Hutan itu telah porak poranda.
“Hari pertama kami berjalan masih banyak terlihat vegetasi tertutup, meski nampak juga pohon akasia dari konsesi perusahaan HTI (Hutan Tanaman Industri). Di hari kedua, kami melihat hutan terbuka sejauh mata memandang, yang saya perkirakan lebih dari 1.000 hektar," kata Ainun, instruktur olahraga panjat tebing Pekanbaru, satu-satunya anggota tim ekspedisi perempuan.
"Di wilayah itu kami menemukan jejak dan kotoran gajah. Saya jadi berpikir, kemana gajah-gajah itu akan tinggal kalau hutan Tesso Nilo ini hilang lenyap seluruhnya?” protes Ainun.
Ditanami kelapa sawit
Data WWF Riau pada 2015 menyebutkan, vegetasi areal TNTN yang masih tertutupi pepohonan hutan diperkirakan tinggal 15.000 sampai 18.000 hektar. Nyaris seluruh areal yang dirambah itu kini sudah ditanami kelapa sawit.
Koordinator Tim Ekspedisi, Fajar Perdana Riski mengungkapkan, secara garis besar tim menemukan berbagai permasalahan serius. Misalnya, masih ditemukan areal perambahan yang baru dibuka. Adapun perambahan lama masih tetap eksis.
Kegiatan pembalakan liar masih berlangsung, bahkan pelakunya masih berusia remaja. Potongan kayu bekas gergajian masih bertumpuk di tengah hutan.
“Kami menemukan setidaknya 12 rumah perambah yang tersebar. Satu pemukiman perambah memiliki kelompok sampai belasan rumah berdekatan. Selain itu kami juga menemukan enam kamp pembalakan liar. Kamp itu dipenuhi dengan sampah plastik yang dapat membahayakan satwa hutan yang memakannya,” kata Fajar.
Menurut Hutomo W dari Balai TNTN, perambah dengan polisi kehutanan yang menjaga TNTN selalu bersifat kucing-kucingan. Ketika dilakukan operasi, perambah lari, namun ketika operasi berakhir, para perusak hutan itu datang lagi.
Bahkan terdapat kecenderungan, para perambah lebih galak dari petugas hukum. Akhir tahun lalu, misalnya, kata Hutomo, polisi kehutanan dengan polisi menangkap dua orang pembakar areal hutan dari pemukiman perambah. Namun, dua tersangka itu tidak dapat dibawa ke kantor polisi karena warga lain memblokade jalan keluar desa pemukiman.
Selanjutnya: Bangkai gajah