Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Pukat UGM: Seharusnya Jokowi Tegas Menolak Revisi UU KPK

Kompas.com - 24/02/2016, 05:37 WIB
Kontributor Yogyakarta, Wijaya Kusuma

Penulis

YOGYAKARTA, KOMPAS.com - Sikap Presiden Joko Widodo menunda revisi Undang-undang No 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) setelah bertemu dengan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dinilai oleh peneliti Pusat Kajian Antikorupsi (Pukat) UGM, Hifdzil Alim, tidak tepat.

Seharusnya, kata Hidzil, presiden mendengar masukan dari publik dan bersikap tegas dengan menolak revisi tersebut.

Menurut Hifdzil, sikap Presiden Joko Widodo menunda revisi UU KPK tidak akan menyelesaikan inti dari permasalahan.

"Presiden harus tegas, menyatakan sikap tolak. Bukan menunda, itu tidak akan menyelesaikan inti permasalahannya," ujarnya, Selasa (23/02/2016).

Ia mengungkapkan, dengan mengambil sikap menunda, maka sewaktu-waktu usulan revisi UU KPK sangat mungkin bisa dimunculkan lagi. Jika dimunculkan lagi, maka akan timbul permasalahan yang intinya sama, yakni melemahkan upaya pemberantasan korupsi, dalam hal ini KPK, melalui Undang-undang.

"Presiden harus mendengarkan kritik publik. Harusnya yang keluar kata tolak bukan tunda," tegas Hifdzil.

Kalaupun nantinya usulan revisi UU KPK dimunculkan lagi, maka dipastikan ada gelombang aksi penolakan yang lebih besar lagi dari elemen masyarakat.

Menurut dia, UU KPK belum saatnya direvisi. Terlebih empat poin isi revisi tidak menguatkan, namun justru melemahkan KPK dalam upaya pemberantasan korupsi.

Merujuk pada Undang-undang Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan Pasal 5 huruf a yang isinya pembentukan termasuk revisi perundang-undangan harus berdasarkan asas kejelasan tujuan.

Sementara, di salah satu poin revisi, misalnya, soal pembatasan izin penyadapan itu justru tidak sesuai dengan tujuan pemberantasan korupsi.

"Poin revisinya saja sudah bertentangan dengan pemberantasan korupsi," kata dia.

Dijelaskannya, memang tidak ada aturan yang melarang merevisi undang-undang. Namun demikian, yang menjadi larangan adalah revisi bertentangan dengan peraturan perundang-undangan.

"Subtansi dan tujuan revisi itu yang dilarang. Revisi bisa dilakukan jika subtansinya tidak melemahkan KPK dan upaya pemberantasan korupsi," pungkasnya.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com