Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Derita Petani Renta di Balik Jeruji Penjara...

Kompas.com - 08/02/2016, 16:11 WIB
Kontributor Bengkulu, Firmansyah

Penulis

BENGKULU, KOMPAS.com - Tahardin (66), warga Desa Ujung Padang, Kecamatan Semidang Alas Maras, Kabupaten Seluma, Bengkulu, pasrah menjadi buruh tani di atas tanah yang diyakininya milik sendiri.

Perjalanan panjang pria lanjut usia ini mempertahankan tanah menjadikan sebuah catatan panjang kerasnya perjuangan petani di Bengkulu untuk mempertahankan hak atas tanah mereka.

Masih terekam di ingatan Tahardin sekitar 30 tahun silam saat ia memiliki beberapa bidang tanah perkebunan. Saat itu tanah miliknya ditanami cengkeh dan padi.

Malang tak dapat ditolak, tanah miliknya diambil oleh perusahaan milik negara untuk perkebunan kelapa sawit.

"Kami dijanjikan plasma, ganti rugi saat itu, namun hingga kini telah lebih dari 30 tahun janji itu tak dipenuhi," kata Tahardin.

Ia mengenang masa itu, di mana hanya sedikit petani yang menggunakan sertifikat untuk tanah mereka karena sebagian besar adalah tanah warisan. Untuk jual beli tanah, petani menggunakan sistem barter.

"Bisa tanah ditukar parang, cangkul atau beras, uang belum begitu berguna, dan kami belum mengenal sertifikat," ujarnya.

Selama puluhan tahun, Tahardin bersama ratusan petani lain berusaha keras agar tanah mereka kembali. Upaya menemui gubernur, menyurati presiden atau menteri hingga berunjuk rasa tidak pernah membuahkan hasil positif untuk mereka.

Puncaknya pada Juli 2010, ketika ia dan belasan petani penggugat lainnya ditangkap polisi karena nekat menggelar blokade di perkebunan kelapa sawit milik perusahaan.

"Kami dijatuhi penjara 3 bulan lebih. Kami dituduh melanggar UU Perkebunan karena menghalangi aktivitas perkebunan. Padahal kami meminta jangan dulu, perusahaan melakukan peremajaan sebelum status tanah kami yang mereka ambil 30 tahun lalu jelas," kata dia.

Banyak kisah sedih yang mereka rasakan saat mendekam di balik jeruji. Situasi itu memaksa istri mereka menjadi tulang punggung keluarga. Ada pula yang ditinggal oleh istrinya dan perekonomian keluarga menjadi berantakan.

"Namun, kami sadar, inilah risiko perjuangan," kata Tahardin.

Bebas dari penjara, Tahardin terpaksa menjadi buruh pemanen kelapa sawit karena ia sudah tidak lagi memiliki lahan garapan.

Pada 2015, ia kembali ditangkap polisi karena dituduh mencuri kelapa sawit milik sebuah perusahaan di kampungnya.

"Saat itu saya mengambil upah memanen sawit milik saudara. Memang tanahnya masih sengketa dengan pihak perusahaan, jadi perusahaan tanam sawit, saudara saya juga tanam sawit di tanah yang sama. Saat saya kerja, saya ditangkap," kenangnya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com