Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Yogyakarta Bersiap Menyambut Jumeneng Dalem Paku Alam

Kompas.com - 05/01/2016, 06:12 WIB

YOGYAKARTA, KOMPAS - Dua keraton di Daerah Istimewa Yogyakarta sedang menjadi sorotan masyarakat. Keraton Yogyakarta di bawah Sultan Hamengku Buwono X disorot karena sabda raja yang diungkapkan HB X untuk ketiga kalinya dalam waktu kurang dari setahun. Isinya sebagian besar mengenai suksesi.

Keraton yang lebih kecil, yaitu Kadipaten Pakualaman, kini sedang bersiap untuk melaksanakan jumeneng dalem (penobatan raja) Paku Alam X. Wijoseno Hariyo Bimo (53), putra sulung almarhum Paku Alam IX yang kini bergelar Kanjeng Bendara Pangeran Haryo (KBPH) Prabu Suryodilogo, akan dinobatkan menjadi Paku Alam X pada 7 Januari 2016. Paku Alam IX yang juga menjabat sebagai Wakil Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta sejak tahun 2003 meninggal dunia pada 20 November 2015.

Minggu (3/1) telah dilaksanakan geladi Kirab Ageng Jumeneng Dalem PA X. Sedikitnya 500 orang yang terdiri atas petugas operasional kereta dan panitia pengamanan jalur kirab kompak berjalan beriringan sepanjang 4 kilometer mengawal lima kereta pusaka Kadipaten Pakualaman. Turut serta di antaranya kerabat Kasultanan Yogyakarta, GBPH Yudaningrat, dan kerabat Kadipaten Pakualaman, KPH Indrokusumo, BPH Hario Danardono, dan KRMT Roy Suryo.

Kelima kereta yang ikut dalam geladi tersebut adalah Kyai Manik Kumolo, Kyai Rejo Pawoko, Kyai Jaladara, Nyai Roro Kumenyar, dan Kyai Brojonolo. Rangkaian kereta ini ditarik total 30 ekor kuda. Khusus kereta Kyai Manik Kumolo ditarik enam ekor kuda warna putih.

Kereta Kyai Manik Brojo tidak diikutsertakan lantaran ada kendala dalam pemasangan besi pengait. Adapun kereta Jaladara merupakan kereta baru yang rampung diproduksi Desember 2015 di bengkel Balai Latihan Pendidikan Teknik BLPT DIY. Kereta ini nantinya dipergunakan sebagai kereta dinas Adipati Arya Paku Alam.

Masyarakat yang memadati rute jalan yang dilalui kirab dan para pengguna jalan tampak antusias menyaksikan rangkaian kereta pusaka. Hal itu dapat dimaklumi lantaran kereta-kereta pusaka ini praktis hanya keluar saat hajat dalem yang sangat khusus, seperti acara jumeng dalem kali ini.

Geladi kirab berlangsung singkat hanya memakan waktu 60 menit. Rute yang ditempuh adalah Jalan Sultan Agung, Gajahmada, Bausasran, Gayam, Cendana, Kusumanegara, Sultan Agung, dan kembali ke Kadipaten Pakualaman. Namun, saat pelaksanaan nanti diperkirakan waktu tempuh lebih lama mengingat panjangnya rangkaian peserta dan besarnya animo masyarakat untuk menyaksikan di jalur jalan rute kirab. Rencana sebagai rangkaian pembuka adalah empat gajah koleksi Kebun Binatang Gembira Loka, prajurit Lombok Abang, dan ditutup prajurit Plangkir dan kavaleri.

Kompleks bangunan Pakualaman terletak tidak jauh dari Keraton Yogyakarta, berada di sebelah timur Kali Code, sungai yang mengalir di tengah Kota Yogyakarta. Pakualaman merupakan kadipaten, raja kecil atau adipati yang mempunyai luas tanah lebih kecil dibandingkan dengan Kasultanan.

Pendiri Kadipaten Pakualaman adalah Pangeran Notokusumo, putra Hamengku Buwono I. Pada masa pemerintahan Hamengku Buwono II, situasi politik dan pemerintahan labil. Digambarkan oleh Poensen yang dikutip dalam buku Kadipaten Pakualaman, "Suasana istana agak kacau, para pegawai istana yang busuk dan curang selalu mengelabui mata-mata kompeni dan selalu mempunyai maksud hendak membinasakan rajanya sendiri yang tamak dan tidak cakap".

Keadaan yang labil mengundang campur tangan Belanda untuk melakukan intervensi ke dalam keraton. Notokusumo yang sangat anti Belanda ikut tersingkir dari percaturan istana, tetapi terselamatkan nasibnya dengan kedatangan Inggris yang untuk sementara mengusir Belanda. Dianggap berjasa kepada Inggris, Notokusumo lalu dinobatkan menjadi Paku Alam I pada 17 Maret 1813, wilayahnya meliputi sebagian Kulon Progo dan sebagian Kota Yogyakarta.

Walau mempunyai wilayah kekuasaan yang kecil dibandingkan dengan tiga kerajaan Mataram lainnya (Kasultanan Yogyakarta, Kasunanan Surakarta, dan Mangkunegaran), peran anggota keluarga Pakualaman dalam membangkitkan nasionalisme melawan penjajah Belanda tampak kuat dan signifikan.

Banyak intelektual dan pejuang yang berasal dari keluarga Pakualaman. Dua tokoh besar yang lahir dari rahim Kadipaten Pakualaman ialah Suryopranoto dan Suwardi Suryaningrat. Mereka adalah cucu Paku Alam III. Suryopranoto dikenal sebagai bangsawan yang anti kemapanan. Pada tahun 1920-an, dia malang melintang sebagai pemimpin aksi pemogokan kaum buruh, lalu dikenal sebagai "Sang Raja Pemogokan" (De Koning van Stakings). Sementara Suwardi Suryaningrat lebih terkenal dengan nama Ki Hajar Dewantara, pendiri perguruan Taman Siswa. (Bambang Sigap Sumantri)

Artikel ini telah tayang di Kompas Digital edisi Senin 4 Januari 2016 dengan judul "Yogyakarta Bersiap Menyambut Jumeneng Dalem Paku Alam".

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Baca tentang
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com