Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Komunitas L, Memperjuangkan Sastra dan Teater di Jalur Sunyi

Kompas.com - 20/12/2015, 17:01 WIB
Kontributor Lhokseumawe, Masriadi

Penulis

LHOKSEUMAWE, KOMPAS.com - Di Lapangan Hiraq, Lhokseumawe, seorang pemuda berkacamata minus terlihat sesekali memberikan arahan.

Dia menunjukkan cara menghayati peran dan melakonkannya di atas panggung.

Di lapangan itu tersedia sebuah balai kecil yang biasa digunakan sebagai tempat para pemimpin upacara dan tamu kehormatan di hari-hari besar nasional.

Di balai kecil itulah Pimen dan teman-temannya berlatih dan sesekali menggelar pertunjukan teater.

“Di sini gratis, tidak bayar,” ujar Pimen sambil tertawa.

Anak muda ini memberi nama komunitas mereka Komunitas Sastra Lazuardi atau Komunitas L.

Pimen dan teman-temannya memilih jalur sunyi karena di Lhokseumawe pertunjukan teater atau sastra lainnya nyaris tidak ada.

Komunitas ini mencoba menggebrak kesunyian itu dengan tampil seadanya. Tanpa dana atau sponsor.

Anggota komunitas ini rela patungan demi menyalurkan hobi sekaligus mendidik generasi muda pecinta sastra dan teater di bumi Serambi Mekah itu.

Sejak 2011, Pimen dan teman-temannya membuat sejenis sekolah untuk berlatih teater.

“Setiap angkatan jumlahnya bervariasi. Tergantung mereka lulus seleksi atau tidak. Latihannya dua kali sepekan, selama 2,5 jam setiap kali pertemuan. Dan, semua kegiatan itu gratis,” ujar Pimen.

Selama setahun, generasi muda itu dilatih musikalisasi puisi plus pementasan teater. Setiap Sabtu dibuka kelas musikalisasi puisi dan segala hal tentang puisi.

Sedangkan pada Minggu, anak-anak ini dilatih berseni peran. Bagaimana dengan para pelatih?

“Terkadang kami hadirkan sastrawan. Lebih sering kami latih sendiri,” sebut Pimen.

Sejak empat tahun terakhir, tak kurang 14 pertunjukan telah mereka digelar. Kini, respon generasi muda terhadap sastra dan teater mulai positif.

Beberapa pementasan yang sudah digelar antara lain Sultanah, Laras, Generasi Lumpur, Ayahku Pulang dan Bendera Setengah Tiang.

“Kami tidak berharap muluk-muluk. Kami ingin sastra dan teater semakin populer di kalangan anak muda Aceh,” sebut lajang kelahiran Lhokseumawe, 12 Oktober 1988 itu.

Meski sastra dan teater kalah populer dibanding tari atau kesenian lainnya, Pimen dan teman-temannya terus bertahan.

Satu waktu, dia berharap komunitas yang didirikannya itu menghasilkan semakin banyak sastrawan di Indonesia.

Sehingga, Aceh tidak hanya dikenal karena sejarah perang, tsunami dan ganja, namun Aceh juga dikenal karena sastra dan teaternya. Selamat berjuang.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com