Dedi menceritakan, di Purwakarta sekolah dimulai lebih pagi dan selesai lebih cepat. Sepulang sekolah mereka akan pergi beternak.
"Ternak-ternak itu milik mereka. Meski masih kecil, mereka sudah menjadi enterpreneur di bidang peternakan," ucapnya.
Selain itu, mereka diharuskan memiliki keterampilan pertanian. Sebab, pertanian inilah yang menjadi budaya sunda.
Begitupun dengan siswi perempuan, diarahkan untuk bisa memasak dan bercocok tanam.
Dengan cara ini, di desa akan muncul para laki-laki dewasa yang punya ikatan dengan alam.
Menjaga kelestarian alam tetapi sekaligus juga bisa memenuhi kebutuhan hidup dari alam.
Mereka tidak perlu lagi pusing dengan kondisi nasional yang selalu mengimpor daging, karena suatu saat nanti desa-desa di purwakarta mampu memenuhi kebutuhan daging mereka sendiri.
Keterampilan di bidang pertanian, tentu dengan teknologi pertanian yang semakin maju membuka peluang mereka menjadi enterpreneur di bidang pertanian. Apalagi lahan Purwakarta subur dan mereka bisa lakukan itu.
"Paling tidak, mereka mampu memenuhi kebutuhan pangan keluarga sepanjang tahun," ucapnya.
Dengan cara ini, ia optimis industri berbasis desa akan terbangun. Setelah terbangun, secara tidak langsung orang desa tidak akan dipaksakan untuk masuk ke dalam industri urban di perkotaan.
"Ada yang hilang dari kami sebagai orang desa. Industrialisasi (pabrik) ini seolah-olah mau memaksa kami harus hidup dengan pola orang kota," ucapnya.
Padahal orang desa berbeda. Dedi mengaku bukan tidak ingin ikut maju, namun akar budaya Sunda memang berbeda.
"Kami justru percaya kemajuan bisa didapatkan dan menghasilkan kebahagiaan tanpa harus meninggalkan budaya masyarakat," ucapnya. Hal itu, sambung dia, lebih baik dan efisien bagi industri yang ingin tumbuh di Purwakarta.