Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Derita Warga Waipia di Maluku, Terdampar di Tanah Leluhur...

Kompas.com - 08/10/2015, 07:03 WIB
Kontributor Ambon, Rahmat Rahman Patty

Penulis

AMBON, KOMPAS.com - Tragis nian nasib warga Waipia, Kabupaten Maluku Tengah, yang kini terdampar di Pulau Teon, Nila, dan Serua (TNS); wilayah yang merupakan tanah leluhur mereka. Perhatian pemerintah yang minim membuat kondisi warga Waipia yang terjebak di tiga pulau itu sejak dua bulan lalu menjadi semakin memprihatinkan. Terlebih, ketika sarana transportasi berupa kapal perintis yang selama ini melayari rute Ambon-TNS kini tidak sudah tidak lagi beroperasi sejak beberapa bulan terakhir.

Warga Waipia kini mendiami Pulau Seram, meski dulunya mendiami tiga Pulau kecil (TNS) yang saling berdekatan tersebut. Pada 1978, pemerintah mengevakuasi semua warga dari tiga pulau itu untuk diungsikan ke Pulau Seram, dengan alasan ancaman letusan gunung Lawrakawra yang di salah satu pulau. Sejak itulah warga TNS mulai menetap dan beranak pinak di Pulau Seram.

Meski begitu, mereka tidak pernah melupakan tanah kelahirannya itu. Setiap bulan Agustus hingga Oktober setiap tahunnya, warga Waipia selalu mengunjungi dan menetap di tiga pulau tersebut. Pada periode itu, warga berbondong-bondong ke tiga pulau tersebut untuk memanen hasil pertanian dan juga cengkeh yang disebut sudah ada sejak zaman nenek moyang mereka.

“Kebiasaan mengunjungi TNS sepanjang Agustus hingga Oktober itu sudah menjadi kebiasaan tahunan seperti mudik,” kata Dion Makatita, seorang warga Waipia kepada Kompas.com, Rabu (7/10/2015).

Dia mengungkapkan, biasanya warga yang datang ke TNS selalu membawa serta perbekalan air bersih secukupnya. Sebab, air bersih di tiga pulau itu sangat terbatas. Selain itu, air di tiga pulau itu sangat keruh, bahkan di Pulau Serua tidak ada air bersih sama sekali.

“Perbekalan biasanya dibawa untuk keperluan selama dua minggu, sesuai jadwal kapal. Setelah itu warga balik lagi,” kata Dion.

Untuk ke tanah leluhurnya itu saja, warga Waipia harus terlebih dahulu datang ke Kota Ambon dengan membuang biaya yang tidak kecil. Dari Ambon, barulah mereka bisa berlayar ke TNS dengan kapal perintis Sabuk 43 di kawasan Gudang Arang Ambon.

“Dari Waipia ke Ambon setiap orang harus mengeluarkan biaya kurang lebih Rp 200 ribu. Itu belum harga kapal, termasuk membeli persediaan makanan selama sehari perjalanan,” ucap Dion.

Tidak beroperasinya lagi kapal perintis yang selama ini melayari rute Ambon-TNS selama beberapa bulan terakhir membawa petaka yang sebelumnya tidak pernah dibayangkan warga Waipia yang berada di tiga pulau itu. Dampaknya, lebih dari 1.000 warga yang telah mendatangi tiga pulau itu terancam kelaparan, setelah bekal persediaan bahan makanan yang dibawa habis.

Kondisi itu pun membuat sejumlah warga terserang penyakit dan tidak bisa diobati, apalagi dirawat di puskesmas maupun rumah sakit.

“Jangankan rumah sakit dan puskesmas, listrik saja tidak ada. Jadi pulau itu memang sudah kosong, hanya saja warga selalu berkunjung ke sana untuk memanen cengkeh,” kata Dion.

Dalam kondisi yang serba memprihatinkan itu, ribuan warga yang terancam kelaparan itu berusaha bertahan hidup dan mencari jalan untuk kembali ke Waipia. Dengan perahu tradisional mereka kemudian berusaha melewati gelombang menuju Pulau Dam, beberapa puluh mil dari TNS.

Sampai di Pulau Dam, ternyata ada sebuah kapal barang Cantika 88 sedang bongkar muat di pulau tersebut. Beberapa warga Waipia yang mendatangi pulau itu lalu menceritakan kondisi mereka selama beberapa bulan di TNS, sekaligus bernegosiasi dengan nahkoda kapal untuk membawa pulang mereka ke Waipia di Pulau Seram.

“Pihak kapal menyanggupi permintaan warga Waipia untuk menumpang kepal itu. Karena warga rela membayar berapa pun,” ujar Dion.

Namun, Dion melanjutkan, karena banyaknya warga, kapal hanya bisa mengangkut sebagian dari jumlah warga Waipia yang ada di TNS. ”Jadi evakuasi warga dari TNS itu tidak ada sama sekali perhatian dari Pemerintah Provinsi (Maluku) maupun Pemerintah Kabupaten Maluku Tengah,” kata dia.

Halaman Berikutnya
Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com