Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kehidupan Eks Tapol di Kendari, Bebas tetapi "Terpenjara"

Kompas.com - 01/10/2015, 20:41 WIB
Kontributor Kendari, Kiki Andi Pati

Penulis

KENDARI, KOMPAS.com – Tubuhnya kurus dan jalannya gontai, usianya sudah menapaki 81 tahun, Lambatu namanya. Pria uzur itu sudah 37 tahun menjadi penghuni lokasi penampungan bekas tahanan politik terkait PKI di kampung Nanga-Nanga, Kecamatan Baruga, Kendari, Sulawesi Tenggara.

Siang itu, Lambatu terlihat sedih, gubuk yang ditempatinya sejak 1978 nyaris roboh. Alhasil, Lambatu terpaksa menopangnya gubuk itu dengan anakan kayu (dolken) di bagian depan dan bagian samping gubuk reot tersebut. Bantuan rehabilitasi rumah dari Kementerian sosial untuk warga miskin tak diterimanya. Kesedihannya bertambah, setelah mengetahui alasan yang menyebabkan dia tidak mendapat bantuan tersebut.

"Pendataan baru-baru ini di Nanga-Nanga, informasinya rumahku tidak diperbaiki karena lahannya bukan saya yang punya. Saya ini punya sertifikat tanah dari BPN yang dikeluarkan tahun 2008, seperti teman-teman yang lain," tuturnya, Kamis (1/10/2015).

Kampung Nanga- Nanga dibuka pada 1978, oleh 42 kepala keluarga bekas tahanan politik peristiwa 1965, luasnya sekitar 1.000 hektar. Mereka dibebaskan setelah sempat dipenjara tanpa surat penangkapan dan tanpa diadili. Kampung Nanga-Nanga hanya berjarak 20 kilometer dari ibu kota Sulawesi Tenggara, Kendari.

Saat ini hanya terdapat sekitar 20 rumah di tempat itu. Sebagian besar masih berbentuk asli seperti ketika dibangun 37 tahun silam. Rumah ukuran 6x8 berdinding papan dicat putih beratap seng campur rumbia, dengan satu jendela di bagian depan dan dua jendela di bagian samping.

Dari 42 orang yang membangun tempat itu, kini hanya tersisa dua orang eks Tapol di kampung tersebut. Mereka adalah Lambatu dan Fauzu (73) serta beberapa janda para eks tapol PKI. Sisanya telah meninggal dunia dan memilih keluar dari kampung tersebut. Pada 2010, listrik baru dapat dinikmati di kampung itu setelah sebelumnya mereka hidup tanpa fasilitas air bersih dan penerangan.

Lambatu, pria kelahiran Kapontori, Kabupaten Buton itu, di zamannya, mungkin adalah satu-satunya pemuda Buton yang paham betul ideologi komunis. Pengetahuan itu diperoleh Lambatu ketika secara diam-diam menikmati buku-buku karya Karl Max dan pemikiran Lenin saat bekerja paruh waktu sebagai penjaga perpustakaan di kota Ujung Pandang (nama lama Makassar).

Dia sempat menimba ilmu di Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin (Unhas) Makassar pada 1959. Pemahamannya terhadap paham Marxisme pula yang membuat Lambatu kemudian bergabung dengan partai komunis. Pada 1964 Lambatu menempati posisi sekretaris komite subseksi CSS Partai Komunis Indonesia di kecamatan Kapontori, Buton.

Di Kapontori, Lambatu menjadi seorang guru SMP. Ia aktif membangun kelompok diskusi tentang bagaimana memajukan negara dan memberi pendidikan politik kepada warga di daerah asalnya.

”Politik Buton terjadi dua kutub. Buton itu kan sisa-sisa kerajaan, pusat kerajaan di sana. Inilah yang perlu kita tantang. Kita menggalang front yang baik, kerja baik dalam pronasakom itu kerja baik, utuh itu yang kita herankan,” katanya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com