Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Membangun Asa dan Nilai Toleransi

Kompas.com - 25/08/2015, 19:50 WIB
Oleh Fransiskus Pati Herin

Terik menyengat kulit saat menuruni lorong setapak menuju tebing di kawasan Wara, Negeri (Desa) Batumerah, Kecamatan Sirimau, Kota Ambon, Maluku, pekan lalu. Sejumlah anak pun menyapa ramah.

Anak-anak itu berseragam putih merah, bermain di halaman sebuah bangunan yang berdiri tak jauh dari bibir tebing. Mereka terus menunjukkan keramahannya.

Itulah gedung sekolah Madrasah Ibtidaiyah (MI) Terpadu Al-Syyukriyyah milik Yayasan Anugrah Nurani Mandiri, sekolah swasta yang membebaskan biaya pendidikan bagi semua muridnya. Kondisi gedung itu tak seperti sekolah di kota pada zaman sekarang yang umumnya serba memadai.

Warna tembok yang semula kuning kini memudar lantaran termakan usia. Bangunan itu hanya memiliki dua pintu dengan kondisi kusen yang tak lagi simetris dengan daun pintunya. Lantai semen pun banyak yang pecah.

Sejak didirikan tahun 2007, gedung berukuran 10 meter x 5 meter itu hanya memiliki dua ruangan. Salah satu ruangan sengaja disekat menjadi dua sehingga ada tiga ruangan.

Penyekatan dilakukan agar bisa digunakan separuh dari jumlah rombongan belajar. Tiada ruang guru dan kantor kepala sekolah.

Berupaya agar kegiatan belajar-mengajar tidak terganggu, dari enam kelas, tiga kelas dijadwalkan belajar pagi mulai pukul 08.00 hingga 12.00 WIT dan selebihnya belajar mulai pukul 13.00 hingga 17.00 WIT. Setiap minggu pola jadwal itu diubah agar siswa tidak jenuh.

Di dalam ruangan terpajang beberapa poster, seperti huruf, angka, alat musik tradisional, dan binatang yang diterangkan dalam bahasa Inggris. Poster itu merupakan buah karya yang dilukis oleh siswa.

"Sekolah tak memiliki cukup uang untuk membeli perlengkapan kelas. Kami berdayakan siswa biar sekalian belajar menggambar," ujar Kepala Sekolah MI Terpadu Al-Syyukriyyah, Zulkifli Lestaluhu, sembari menunjukkan sejumlah karya siswa, seperti puisi, yang juga ditulis tangan.

Pusat belajar alternatif

Zulkifli menuturkan, sekolah itu didirikan Rahmat Setiawan, pegiat sosial asal Sumedang, Jawa Barat, yang bertugas di Ambon pasca konflik sosial yang berlangsung beberapa tahun sejak 1999.

Sekolah itu sengaja dijadikan pusat belajar alternatif untuk menampung anak-anak korban kerusuhan. Kegiatan operasional kala itu dibantu lembaga donor dan pemerintah.

Namun, setelah Rahmat kembali ke kampung halamannya tahun 2010, aktivitas sekolah nyaris terhenti. Tidak ada lagi anggaran operasional. Banyak siswa memilih meliburkan diri karena tak punya pilihan.

Warga pun mencibir dan menilai sekolah itu tak bermutu sehingga lulusannya bakal ditolak jika mendaftar ke jenjang berikutnya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com