Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Merekam Jejak Konflik dalam Sastra Nusantara...

Kompas.com - 10/08/2015, 09:28 WIB
Kontributor Lhokseumawe, Masriadi

Penulis

KOMPAS.com - "Ketika jurnalis dibungkam, sastra yang harus bicara." Ungkapan Seno Gumira Ajidarma itu tampaknya benar-benar dilakoni oleh sejumlah jurnalis dan penulis di Indonesia. Terkadang, cerita dalam konflik yang diketahui jurnalis atau penulisnya tidak bisa dipublikasikan sebagai produk berita.

Sebab, sebuah berita memiliki proses dan mekanisme etik yang wajib dipatuhi oleh para jurnalis. Misalnya, soal keterangan  off the record dari narasumber kunci dalam perang yang tidak bisa dipublikasikan. Namun, bila ditulis dalam dalam bentuk karya sastra, novel atau cerita pendek, maka publik akan tahu, bahwa cerita itu pernah dialami Bangsa ini.

Konflik kerap dijadikan sumber cerita dalam sastra Nusantara. Dari riwayat konflik Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dengan TNI sampai gerakan G30S PKI. Bahkan heroisme perjuangan kemerdekaan RI juga dinukilkan dalam sastra Nusantara.

Salah seorang penulis novel dari Aceh Ayi Jufridar menulis kisah tentang seorang gerilyawan GAM dalam novel “Kabut Perang”. Dia juga menulis novel tentang perang gerilya yang dipimpin Jenderal Sudirman saat melawan Jenderal Spoor di Yogyakarta. Dalam novel berjudul “693 Jejak Gerilya Sudirman” Ayi menuliskan bagaimana kharisma Sudirman sebagai jenderal berbintang lima pertama di Indonesia.

Dia memimpin gerilya, membelah hutan, menyisir lembar, mendaki gunung sembari mengintruksikan penyerangan terhadap pos-pos Belanda. Di buku ini juga terekam bagaimana pejuang militer seperti Sudirman tidak sepakat dengan pejuang sipil seperti Bung Karno untuk berdialog dengan Belanda.

Sudirman menegaskan Belanda harus dilawan lewat moncong senapan. Bukan dengan cara berdebat sepanjang malam di meja perundingan. Di sini juga terungkap bagaimana Sudirman dikhianati. Setiap kali ada rencana penyerangan terhadap Belanda, hal itu selalu bocor. Sehingga Belanda siap menyambut serangan Indonesia  itu.

Padahal, rapat penyerangan itu hanya diikuti empat elite Bangsa ini. Sayangnya, Ayi tidak gamblang menyebut siapa saja elite itu. “Di situlah dilemanya menulis novel berlatar konflik dan sejarah. Pilihannya adalah apakah kita menjaga keutuhan sejarah atau bebas berimajinasi. Terkadang, melabrak keutuhan sejarah, demi menjaga keutuhan cerita harus dilakukan,” ujar Ayi dalam sebuah diskusi di Lhokseumawe, Sabtu (8/8/2015) lalu.

Pilihan ideal menulis sejarah dalam novel, sambung Ayi, adalah tetap menjaga keutuhan sejarahnya. Namun tetap bisa mengekplorasi lebih dalam pada narasi dan deskripsinya. “Poin penting sejarahnya tidak dihilangkan. Namun soal deskripsi, itu bisa lebih bebas,” terangnya.

Rekam konflik memang selalu menarik untuk dibaca. Dalam konflik selalu ada kisah cinta, perang dan perjuangan berdarah-darah. Itu pula yang dituangkan oleh peraih Khatulistiwa Literary Award 2012 Arafat Nur.

Dalam novel “Lampuki” yang meraih penghargaan Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) 2011 itu dikisahkan bagaimana gerilyawan GAM bisa menggempur aparat keamanan dengan bantuan rakyat. Sejauh kabar yang beredar selama ini, gerilyawan GAM memang pernah mendapat dukungan penuh dari rakyat Aceh, sebelum perdamaian antara RI-GAM disepakati 2006 lalu.

Dalam novel “Bulan Terbang di Kelam Malam”, Ayi menuliskan bagaimana idiologi GAM masuk ke dalam masyarakat secara masif. “Cerita berlatar konflik menjadi pilihan karena memiliki segmen pembaca yang banyak, dan menjadi laris manis,” kata dia.

Tragedi PKI
Kisah tragedi pembantaian mereka yang dicap anggota Partai Komunis Indonesia (PKI) 1965-1968 juga mewarnai belantika sastra Indonesia. Duo wanita Laksmi Pamuntjak dan Leila S Chudori, masing-masing menulis novel “Amba” dan “Pulang” yang mengungkap sisi lain PKI.

Dalam “Pulang”, Leila mengupas bagaimana mereka yang dicap PKI bertahan hidup di luar negeri. Mendirikan usaha dan tetap mencintai Indonesia dengan cara mereka sendiri. Berpuluh tahun mereka memendam rindu Tanah Air, namun karena ketakutan akan dibunuh mereka tetap bertahan di luar negeri. Diplomat Indonesia pun memperlakukan mereka tak kalah buruknya, seakan mereka bukan anak Bangsa yang wajib dibela sesuai amanat konstitusi.

Ihwal PKI tampaknya juga menarik perhatian penulis asing Peer Holm Jorgensen asal Denmark yang menulis novel “The Missing Story” diangkat dari kisah nyata Dewa Soeradjana asal Bali yang menetap di Slovenia.

Novel dua bahasa Inggris dan Indonesia itu mengulas kisah Dewa, salah seorang mahasiswa yang dikirim Presiden Sukarno ke luar negeri untuk belajar. Tujuan Presiden pertama itu untuk menyiapkan sumber daya manusia. Namun, ketika 1965, Sukarno yang dicap sebagai pendukung PKI berdampak pada mahasiswa yang kuliah di luar negeri.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com