Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Jeritan Hati Rakyat Jatigede...

Kompas.com - 03/08/2015, 16:00 WIB

KOMPAS.com - Di depan situs Kabuyutan Prabu Aji Putih, Ambu Pristi menangis. Dia meminta maaf atas kekhilafan seuweu siwi putu (keturunan) Prabu dalam menyelamatkan titisan karuhun (leluhur) Sunda itu pula.

Dalam waktu tidak lama lagi, makam keramat pendiri Kerajaan Tembong Agung, cikal bakal Kerajaan Sunda Sumedang Larang di Desa Cipaku, Kecamatan Darmaraja, Kabupaten Sumedang, Jawa Barat, itu bakal tergenang air Waduk Jetigede.

Suasana haru, sedih, dan mencekam menyelimuti hati seratus peserta ruwatan yang memenuhi areal kabuyutan seluas 10 meter x 10 meter pada sepenggal hutan di Daerah Aliran Sungai Cimanuk. Semilir angin yang pelan-pelan mengurai rumpun bambu dan pohon besar berusia ratusan tahun membangkitkan suasana magis pada ziarah seuweu siwi putu Eyang Prabu, Rabu (29/7/2015) siang itu.

Asap dupa yang mengepul sendu membuat bulu kuduk merinding saat Ambu Pristi memimpin doa. Di atas kabuyutan, burung elang terbang berkeliling, berteriak gelisah seolah tahu yang akan terjadi. Kekhidmatan prosesi nyaris sempurna saat alunan musik tradisional karinding mengiringi kidung Sunda pada rajah bubuka (pembuka) hingga rajah pamunah.

Ruwatan itu merupakan aksi budaya sejumlah komunitas adat kesundaan dalam rangka menyelamatkan Kabuyutan Jatigede. Aksi itu terus dilakukan menjelang digenanginya Waduk Jatigede. Dalam budaya Sunda, siapa saja yang tak bisa menjaga kabuyutan derajatnya tidak lebih baik daripada kulit musang di tempat sampah (jarian).

Menurut tokoh wanita Sumedang itu, Kabuyutan Cipaku dipercaya sebagai peninggalan Eyang Prabu Aji Putih, Raja Tembong Agung, cikal bakal Kerajaan Sunda Sumedang Larang. Pada masa jayanya sekitar abad ke-7 Masehi, wilayah kekuasaan Sumedang Larang hampir sama dengan Jabar sekarang. Kabuyutan ini juga dianggap keramat karena merupakan titik singgung paling utama kesatuan gunung-gunung di Pulau Jawa.

"Menurut keyakinan masyarakat Tatar Sunda, situs ini tak tergantikan karena merupakan salah satu koridor menuju tatanan kenegaraan yang adil, makmur, dan sejahtera," papar Ketua Dewan Pemerhati Kehutanan dan Lingkungan Tatar Sunda (DPKLTS) Mubiar Purwasasmita.

Saat ini keyakinan warga Tatar Sunda terhadap situs yang akan tenggelam itu terus berkembang di media sosial dan makin membangkitkan penolakan terhadap penggenangan. Oleh masyarakat Tatar Sunda hilangnya situs keramat ini merupakan tanda-tanda pemicu kehancuran bangsa.

Oleh karena itu, sejumlah komunitas adat kesundaan, aktivis lingkungan, lembaga swadaya masyarakat, dan tokoh masyarakat Jabar terus menyuarakan penolakan penggenangan Jatigede, baik dengan penjelasan teknis maupun budaya.

"Sepuluh tahun kami menolak Jatigede, tetapi penjelasan kami tak didengar pemerintah," ujar Taufan Suranto dari DPKLTS. Terakhir, sesepuh Jabar Solihin GP pada 27 Juli menyurati Presiden agar penggenangan Jatigede dibatalkan.

Tangisan terakhir

Tangisan wanita tokoh Sumedang itu barangkali adalah jeritan hati terakhir rakyat Jatigede. Sebanyak 11.469 keluarga warga di 28 desa bakal tergenang sehingga harus meninggalkan tanah leluhur yang secara turun-temurun menghidupi mereka. Kawasan itu adalah lahan pertanian yang subur dan penyumbang beras untuk Sumedang dan Kota Bandung.

"Sawah di sini rata-rata menghasilkan 10 kilogram (kg) gabah per bata (sekitar 14 meter persegi) atau 7 ton per hektar," ujar E Supendi, tokoh Desa Cipaku. Setelah berpuluh tahun diombang-ambingkan oleh pembangunan Jatigede, akhirnya mereka pasrah kampung halamannya direndam waduk yang bakal mengairi sekitar 90.000 hektar sawah di pantai utara (pantura) Jabar itu.

Kepasrahan mereka terlihat saat hari-hari ini berkerumun di kantor kecamatan dan desa untuk memverifikasi kepemilikan lahan bagi kepentingan ganti rugi. Warga yang dipindahkan dari areal waduk terbagi menjadi dua kelompok. Kelompok pertama 11.469 keluarga, yang mendapat penggantian berdasar Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 15 Tahun 1975. Kelompok ini memperoleh biaya sosial Rp 108.191.200 per keluarga.

Kelompok kedua 6.955 keluarga, penanganannya berdasar Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 55 Tahun 1993 dan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 36 Tahun 2005. Mereka mendapat anggaran sosial Rp 29.360.152 per keluarga. Presiden Joko Widodo mengeluarkan Perpres Nomor 1 Tahun 2015 untuk mengatur pembayaran ganti rugi bagi warga yang rumah dan tanahnya terkena pembangunan waduk itu.

"Kami tidak memiliki pilihan lain," tutur Ali Rachmat, warga Kecamatan Jatigede. Awalnya, ia menolak keputusan pemerintah yang menetapkannya mendapat uang kerohiman Rp 29 juta karena tidak mungkin cukup untuk membangun rumah di tempat lain. Akhirnya, ia bersedia menandatangani pemberkasan oleh Satuan Kerja Jatigede untuk mengambil uang pengganti.

"Dalam hati, saya marah dan menyesal karena ini adalah proses pemiskinan. Namun, kalau menolak, saya bingung mau ke mana karena tidak memiliki harta lagi," keluhnya. Endang Suparman (65), warga Desa Cipaku, Kecamatan Darmaraja, Sumedang, mengungkapkan, tahun 1982-1986 warga sudah mendapatkan ganti rugi rumah, tanah sawah, dan lahan tegalan. Namun, ganti rugi yang dilakukan Panitia Sembilan saat itu tidak utuh.

Misalnya, sawah yang ditentukan Rp 3.500 per meter persegi sesuai SK Dirjen Binamarga hanya diterima Rp 600 per meter persegi.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Pj Gubri Ajak Pemkab Bengkalis Kolaborasi Bangun Jembatan Sungai Pakning-Bengkalis

Pj Gubri Ajak Pemkab Bengkalis Kolaborasi Bangun Jembatan Sungai Pakning-Bengkalis

Regional
Diskominfo Kota Tangerang Raih Penghargaan Perangkat Daerah Paling Inovatif se-Provinsi Banten

Diskominfo Kota Tangerang Raih Penghargaan Perangkat Daerah Paling Inovatif se-Provinsi Banten

Regional
Fakta dan Kronologi Bentrokan Warga 2 Desa di Lombok Tengah, 1 Orang Tewas

Fakta dan Kronologi Bentrokan Warga 2 Desa di Lombok Tengah, 1 Orang Tewas

Regional
Komunikasi Politik 'Anti-Mainstream' Komeng yang Uhuyy!

Komunikasi Politik "Anti-Mainstream" Komeng yang Uhuyy!

Regional
Membedah Strategi Komunikasi Multimodal ala Komeng

Membedah Strategi Komunikasi Multimodal ala Komeng

Regional
Kisah Ibu dan Bayinya Terjebak Banjir Bandang Berjam-jam di Demak

Kisah Ibu dan Bayinya Terjebak Banjir Bandang Berjam-jam di Demak

Regional
Warga Kendal Tewas Tertimbun Longsor Saat di Kamar Mandi, Keluarga Sempat Teriaki Korban

Warga Kendal Tewas Tertimbun Longsor Saat di Kamar Mandi, Keluarga Sempat Teriaki Korban

Regional
Balikpapan Catat 317 Kasus HIV Sepanjang 2023

Balikpapan Catat 317 Kasus HIV Sepanjang 2023

Regional
Kasus Kematian akibat DBD di Balikpapan Turun, Vaksinasi Tembus 60 Persen

Kasus Kematian akibat DBD di Balikpapan Turun, Vaksinasi Tembus 60 Persen

Regional
Puan: Seperti Bung Karno, PDI-P Selalu Berjuang Sejahterakan Wong Cilik

Puan: Seperti Bung Karno, PDI-P Selalu Berjuang Sejahterakan Wong Cilik

Regional
Setelah 25 Tahun Konflik Maluku

Setelah 25 Tahun Konflik Maluku

Regional
BMKG: Sumber Gempa Sumedang Belum Teridentifikasi, Warga di Lereng Bukit Diimbau Waspada Longsor

BMKG: Sumber Gempa Sumedang Belum Teridentifikasi, Warga di Lereng Bukit Diimbau Waspada Longsor

Regional
Gempa Sumedang, 53 Rumah Rusak dan 3 Korban Luka Ringan

Gempa Sumedang, 53 Rumah Rusak dan 3 Korban Luka Ringan

Regional
Malam Tahun Baru 2024, Jokowi Jajan Telur Gulung di 'Night Market Ngarsopuro'

Malam Tahun Baru 2024, Jokowi Jajan Telur Gulung di "Night Market Ngarsopuro"

Regional
Sekolah di Malaysia, Pelajar di Perbatasan Indonesia Berangkat Sebelum Matahari Terbit Tiap Hari

Sekolah di Malaysia, Pelajar di Perbatasan Indonesia Berangkat Sebelum Matahari Terbit Tiap Hari

Regional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com