Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Ajukan Pergantian Nama ke Pengadilan, Sultan HB X Dinilai Langgar UU

Kompas.com - 03/07/2015, 10:27 WIB

YOGYAKARTA, KOMPAS.com — Sri Sultan Hamengku Buwono (HB) X mengajukan pergantian nama ke Pengadilan Negeri Yogyakarta untuk mendapatkan legalisasi perubahan tersebut. Langkah Sultan itu kemudian mendapat respons sejumlah pihak sebab perubahan nama ini dianggap bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2012 tentang Keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta.

Cucu Hamengku Buwono VIII, Kanjeng Raden Tumenggung (KRT) H Jatiningrat SH atau Romo Tirun, mengatakan, perubahan nama itu telah menabrak ketentuan Undang-Undang Keistimewaan (UUK). Padahal, UU Keistimewaan DIY merupakan penghargaan dari rakyat Indonesia kepada rakyat Yogyakarta.

"Ini perjuangannya luar biasa pada waktu itu. Rakyat terlibat langsung (meminta keistimewaan)," kata Romo Tirun dalam acara silaturahim dan buka bersama semua elemen masyarakat di Dalem Prabukusuman, Kamis (2/7/2015) kemarin.

Romo Tirun menjelaskan, nama Sultan sudah termaktub dalam Ketentuan Umum UU Keistimewaan DIY. Di sana juga disebut gubernur adalah Sultan yang bertakhta dan wakil gubernur adalah Pakualaman yang bertakhta.

"Maka, UUK ini sudah ditabrak dan tidak diperhitungkan," kata dia.

Dalam Pasal 1 ayat 4 UU Keistimewaan DIY memang disebutkan perihal nama Sultan. Ayat itu berbunyi, "Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat, selanjutnya disebut Kasultanan, adalah warisan budaya bangsa  yang berlangsung secara turun-temurun dan dipimpin oleh Ngarsa Dalem Sampeyan Dalem Ingkang  Sinuwun Kanjeng Sultan Hamengku Buwono Senapati Ing Ngalaga Ngabdurrakhman Sayidin Panatagama Kalifatullah, selanjutnya disebut Sultan Hamengku Buwono."

Wakil Ketua DPRD DIY Arief Noor Hartanto mengatakan, sebenarnya jika Sultan menarik Sabda Raja tidaklah menurunkan derajatnya. Arief juga telah mengajak para pejabat Pemda DIY untuk taat kepada UU Keistimewaan DIY.

"Kalau beliau menarik pernyataannya lewat Sabda Raja, tidak ada kewibawaan yang ternodai sedikit pun. Justru beliau menjadi sosok demokratis karena mendengar dari semua pihak," kata Arief.

Bergantung pada situasi politik

Sementara itu, saat ditemui di Kepatihan, Sultan mengatakan bahwa memang dirinya mengajukan legalisasi nama ke PN Yogyakarta. Hal itu menurut dia adalah hal yang lumrah layaknya orang yang melakukan pergantian nama.

"Ganti nama kan harus di pengadilan. Saya tidak mau ganti-ganti nama terus-menerus. Nanti kalau untuk perjanjian apa, kan harus terdaftar," ujarnya.

Saat ditanya mengenai perubahan nama tersebut tentu akan berimplikasi terhadap perubahan nama yang ada dalam UU Keistimewaan DIY, Sultan mengatakan bahwa hal itu bergantung pada situasi politik ke depan.

"Ya belum tentu (mengubah dalam UU), nanti kita lihat perkembangan politik saja," kata dia.

Sementara itu, GBPH Prabukusumo mengatakan, pihaknya mempersilakan Sultan melegalisasi namanya lewat pengadilan. Namun, pergantian nama secara resmi mengindikasikan bahwa apa pun yang melekat pada Sultan telah lepas.

"Biarkan saja, itu hak beliau. Tapi, kalau beliau resmi berganti nama, artinya lepas dari keraton berarti lepas dari jabatan di keraton. Berarti itu ilegal," kata dia.

Ia menambahkan, para rayi dalem juga sudah menyepakati sejumlah opsi yang nantinya akan diajukan ke Presiden. Saat ini, surat tersebut sudah dikirim ke Jakarta untuk dimintakan tanda tangan para rayi dalem di Jakarta.

Surat tersebut ditandatangani para putra dan putri HB IX. Selanjutnya, surat akan dikirim ke Presiden dan Sekretaris Kabinet.

"Entah diterima (Presiden) atau tidak, tetapi diharapkan Presiden memahami," ujarnya.

(had/tribunjogja.com)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com