Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Libur Sekolah, Membangun Harapan di Atas Sampah

Kompas.com - 21/06/2015, 16:18 WIB
Kontributor Bengkulu, Firmansyah

Penulis

BENGKULU, KOMPAS.com - Aroma tak sedap menyerang hidung saat memasuki lokasi Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Air Sebakul Kota Bengkulu. Ribuan lalat berterbangan menghinggapi tubuh.  Hati-hati jika berbicara atau membuka mulut, bisa-bisa lalat-lat itu masuk ke dalam mulut. 

Tumpukan sampah menggunung sejauh mata memandang. Beberapa kendaraan bermuatan sampah tampak lalu-lalang.

Saat sebuah truk bermuatan sampah basah memasuki kawasan itu, sontak puluhan bocah usia sekolah berlarian. Mereka berebut naik ke atas truk.

Askan Armando (7), siswa kelas II SD ini adalah salah satu dari bocah-bocah itu. Perawakannya mungil. Kakinya  lincah seperti kijang. Sebuah gancu dan karung beras digenggamnya di tangan kanan. Di atas truk yang masih berjalan, Askan mengais-ngais tumpukan sampah.

"Ups banyak botol plastik di sini," ia berseru girang.

Hal yang sama juga dilakukan Karlina Sulastri (12), siswa SMP 6 Kota Bengkulu yang masih duduk di kelas VIII ini.

"Libur sekolah ini kami manfaatkan untuk membantu ibu bekerja mencari sampah, untuk beli baju lebaran," cerita Karlina sambil tersenyum pada Kompas.com, Minggu (21/6/2015).

Mimpi

Setelah karung di tangan penuh terisi, mereka pulang. Rumah mereka adalah gubuk-gubuk kecil yang tersebar di sekeliling areal tempat pembuangan sampah ini. Di luar gubuk, ibunda Karlina, Dewi,  tengah sibuk memilah sampah.

"Sebentar lagi tauke (pembeli) sampah akan datang dan akan membeli sampah-sampah ini, Setiap hari kami mampu mendapatkan uang bersih maksimal Rp 30 ribu. Itulah matapencarian kami sekeluarga," kata Dewi.

kompas.com/Firmansyah Karlina Sulastri, mengenakan tutup kepala, beristirahat di pondok ibunya usai mengais sampah.
Ia punya mimpi, kelak Karlina bisa menyelesaikan sekolah setinggi mungkin. Ia tidak ingin anak bungsunya itu putus sekolah dan bernasib sama dengan dirinya, menyambung hidup dengan mengais sampah.

"Saya takut Karlina putus sekolah, sementara penghasilan saya hanya mengais sampah. Saya ingin melihat anak saya bisa kuliah. Kakaknya hanya tamatan SMP dan SMA," tutur Dewi.

Di antara bocah-bocah itu juga ada Dedi (14). Sudah setahun ia mengais sampah di sana. 

"Saya cuma sekolah sampai kelas II SD. Orang tua saya tidak punya uang," kata dia. 

Semangat

Dedi tinggal bersama bibinya. Hasil penjualan sampah ia berikan kepada bibinya untuk biaya hidup mereka berdua. 

"Saya numpang hidup di rumah bibi. Jadi, sebagai terimakasih ke bibi saya bantu dia cari sampah," ujarnya. 

Bagi para bocah itu, sampah adalah rezeki, bukan sekadar barang busuk berbau. Cita-cita akan kehidupan yang lebih baik mereka gantungkan di sana. 

Para bocah dan orang tua di kawasan itu belum merasakan manfaat sekolah gratis sebagaimana halnya warga ibu kota Jakarta. Bagi mereka, sekolah butuh biaya yang tidak sedikit. 

Matahari semakin tinggi. Teriknya membakar kulit. Tinggi matahari juga setinggi semangat mereka.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com