Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Cerita Lilik, TKW yang Lolos dari Jerat Hukuman Mati di Arab Saudi

Kompas.com - 25/05/2015, 16:06 WIB
Kontributor Banyuwangi, Ira Rachmawati

Penulis

BANYUWANGI, KOMPAS.com — Penantian Lilik Ernawati (44), tenaga kerja wanita (TKW) asal Dusun Sambirejo, Desa Sambimulyo, Kecamatan Bangorejo, untuk kembali ke keluarganya terwujud. TKW yang dikabarkan terancam hukuman pancung tersebut akhirnya dibebaskan setelah selama delapan tahun dipenjara dan kembali ke Banyuwangi pada Senin, 25 Mei 2015.

Kepada Kompas.com, Senin (25/5/2015), Lilik mengaku kaget saat pertama kali mendengar kabar bahwa dia akan segera dieksekusi mati karena terseret kasus dugaan pembunuhan. "Saya tidak pernah divonis hukuman mati. Tapi, memang selama delapan tahun menjalani sidang dan saya dipenjara di Jeddah. Tapi, akhirnya dilepaskan karena memang tidak terbukti," kata Lilik.

Perempuan yang sudah mempunyai dua cucu tersebut bercerita, dia berangkat ke Arab Saudi pada tahun 2004. Saat itu, dia bekerja sebagai pembantu rumah tangga. "Karena majikan saya jahat, akhirnya saya memutuskan melarikan diri. Paspor serta semua administrasi ditahan majikan," ungkap dia.

Kemudian, Lilik bekerja di sebuah sekolah sebagai pembersih kamar mandi hingga akhirnya ditahan pada tahun 2007 dengan tuduhan ikut serta membantu pembunuhan terhadap Siti Aisyah, warga negara Indonesia, asal Jawa Barat, yang dibunuh oleh seorang laki laki berkebangsaan Banglades.

"Saat itu saya bersumpah di atas Al Quran bahwa saya tidak tahu, tidak mendengar, dan tidak melihat apa pun yang berkaitan dengan kasus tersebut," kata Lilik.

Bahkan saat diberikan empat lembar foto, Lilik mengaku tidak ada satu orang pun di foto itu yang dia kenal. "Saya sudah tidak pernah lagi berkomunikasi dengan pria asal Banglades tersebut karena memang tidak akrab dan tidak ada hubungan apa-apa. Saya dengar dia masih dipenjara, tapi tidak pernah ketemu langsung," ujar dia.

Selama di penjara, Lilik mengaku bekerja menjual kopi untuk mencukupi kebutuhan sehari-harinya. Selain itu, dia juga mendapatkan uang saku sebesar 150 riyal per bulan. "Namun, yang saya terima 145 riyal karena lima riyal dipotong untuk beli pembalut. Selain itu, juga dapat dua potong baju baru setiap Lebaran," kata dia.

Ia juga mencoba menghabiskan waktunya dengan beribadah. Lilik mengaku yakin dia akan segera pulang ke Indonesia. "Saya pasrahkan hidup kepada Allah karena hidup ini sudah ada yang ngatur. Walau mati di penjara, saya sudah ikhlas," ungkap dia dengan mata berkaca-kaca.

Bahkan, Lilik pun sempat berkata kepada kakaknya yang berada di Bali bahwa jika dia mati, keluarga harus mengikhlaskan jasadnya tidak dibawa pulang ke Indonesia. "Saya bilang biar aja dikubur di Arab, soalnya enggak ada uang buat bawa pulang ke Indonesia," kata dia.

Dia mengaku, selama di penjara, dia selalu menelepon keluarganya di Banyuwangi untuk memberikan kabar mengenai perkembangan kasusnya. "Saya teleponnya sembunyi-sembunyi, nyewa handphone 10 riyal per jam di penjara. Dulu pernah punya, tapi saya jual soalnya takut ketahuan. Kalau ketahuan, diisolasi di dalam kamar mandi. Saya takut kalau ada hantunya," kata dia sambil tersenyum.

Pulang bawa uang Rp 350.000 serta kangen tempe dan sambal
Dari pernikahannya, Lilik memiliki tiga anak, yaitu Nur Hoiri, Agus, dan Nadia. "Anak kedua dan ketiga sudah menikah. Yang pertama belum, katanya nunggu saya pulang," kata dia.

Sementara Agus, anak keduanya, memilih bekerja di perkebunan kelapa sawit Malaysia sejak setahun terakhir. Lilik juga bercerita bahwa anak perempuannya sempat menghubunginya untuk meminta izin menjadi TKW ke luar negeri.

"Saya melarang keras. Enggak gampang jadi TKW di negeri orang. Jangan anak perempuan saya. Masih trauma. Biar dia Indonesia bekerja apa saja yang penting halal," ungkap dia.

Lilik mengaku pertama kali sampai di rumah, dia minta dibuatkan sambal dan tempe. "Kangen makanan Indonesia. Selama di penjara, saya enggak enak makan," ujar Lilik.

Selama 11 tahun meninggalkan Indonesia, ia mengaku tidak ada perubahan dalam hidupnya. Kondisi rumah ibunya pun masih tetap sederhana dan tidak direnovasi. "Semua hasil kerja saya untuk biaya hidup anak-anak. Saya juga tidak bisa menuntut hak-hak saya karena saya tidak punya paspor. Tetapi, yang penting saya bisa pulang," tutur dia.

Saat pulang ke Indonesia, Lilik mengaku hanya membawa uang sekitar Rp 350.000 hasil tabungannya selama di penjara. "Semua biaya ditanggung pemerintah, tapi yang penting saya pulang. Saya sudah enggak mau ke sana lagi," kata dia.

 
 
 
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com