Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Mandi Lumpur Lapindo

Kompas.com - 25/05/2015, 15:00 WIB

SIDOARJO, KOMPAS — Sejumlah orang menggelar acara mandi menggunakan lumpur Lapindo yang mengalir dari pusat semburan ke kolam penampungan di Titik 25, Desa Renokenongo, Kecamatan Porong, Kabupaten Sidoarjo, Jawa Timur, Minggu (24/5). Kegiatan itu diklaim sebagai bagian dari aksi teatrikal memperingati sembilan tahun semburan yang jatuh pada 29 Mei 2015.

Seusai mandi, warga lalu berjalan kaki membawa bendera Merah Putih menuju ke tanggul penahan luapan lumpur Lapindo di Titik 10, Desa Siring. Selanjutnya, mereka menancapkan bendera di atas kolam itu dan menabur bunga, setelah meyakini tempat tersebut dulu merupakan pemakaman umum masyarakat.

"Semua aksi teatrikal itu merupakan penggambaran kondisi warga korban lumpur Lapindo, yang diaplikasikan melalui karya seni," ujar Dadang Christanto, perupa asal Tegal yang bermukim di Australia.

Maknanya adalah, katanya, warga tidak pernah menyerah untuk berjuang kendati mereka telah ditenggelamkan semburan lumpur Lapindo selama sembilan tahun. Menurut Dadang, perjuangan warga itulah yang layak diapresiasi.

Semburan lumpur Lapindo meretakkan hubungan sosial masyarakat, yang sejak dahulu kala tinggal di Kecamatan Porong, Tanggulangin, dan Jabon, Kabupaten Sidoarjo. Semburan lumpur yang dipicu kesalahan pengeboran di sumur gas milik PT Lapindo Brantas Inc itu menenggelamkan segala sendi kehidupan korban serta mencerabut mereka dari akar budaya dan kehidupan yang aman dan nyaman.

Semakin terpuruk

Sutrisno, warga korban lumpur dari Desa Kedungbendo, mengatakan, penderitaan warga korban yang kehilangan segalanya itu semakin bertambah karena ketiadaan perhatian dari pemerintah selama sembilan tahun. Tidak pernah ada upaya memulihkan hak-hak masyarakat seperti kehidupan sebelumnya.

"Sembilan tahun nasib kami tidak berubah, justru semakin terpuruk. Kehidupan semakin susah karena hak dasar untuk mendapatkan pelunasan ganti rugi terhadap aset berupa tanah dan rumah kami yang tenggelam tidak pernah diberikan," kata Sutrisno.

Taraf kehidupan korban lumpur terus menurun. Apabila sebelumnya mereka mampu mengontrak rumah dari uang muka pembayaran ganti rugi sebesar 20 persen yang diberikan Lapindo, kini kondisinya semakin buruk.

Selalu khawatir

Kondisi korban lumpur di Desa Gempolsari, Tanggulangin, yang bertahan menempati rumah mereka juga tidak lebih baik. Setiap hujan turun deras, tempat tinggal warga ditenggelamkan luberan lumpur Lapindo dan luapan Sungai Ketapang yang mengalami sedimentasi tinggi.

"Penderitaan kami tidak pernah berakhir. Sembilan tahun hidup tak tenang karena selalu khawatir diterjang banjir yang datang setiap saat," papar Sulastri.

Buruh pabrik rokok itu tak berkutik karena belum menerima pembayaran ganti rugi sama sekali. Jangankan mengontrak rumah, untuk menyambung hidup setiap hari saja susah karena dia bukan kelompok warga korban yang menerima uang muka pembayaran 20 persen.

"Harapan korban lumpur satu-satunya tinggal pemerintah. Kami dengar sudah ada dana talangan dari pemerintah untuk melunasi ganti rugi. Semoga pelunasan segera direalisasikan untuk mengurangi beban derita kami," ucap Sulastri. (NIK)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com