Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Siswa SLB Galang Koin untuk Bangun Sekolah

Kompas.com - 21/05/2015, 18:05 WIB
Kontributor Magelang, Ika Fitriana

Penulis

MAGELANG, KOMPAS.com - Dua anak-anak berkebutuhan khusus (difabel) telihat semangat menyusuri lorong sekolah SLB Ma'arif Muntilan, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah, Kamis (21/5/2015). Mereka masuk ke ruang kelas satu ke kelas lainnya sembari membawa sebuah kardus bertuliskan "Sejuta Koin Untuk SLB Muntilan". Sementara ratusan difabel, termasuk para guru, dengan sukarela memasukkan uang koin maupun kertas ke kardus tersebut.

Ya, aksi para difabel yang cukup mengharukan itu bertujuan menggalang dana untuk membantu sekolah yang sedang kesulitan untuk membeli tanah demi perluasan sekolah ini. Sekolah yang terletak di Dusun Dalitan, Desa Pucungrejo, Kecamatan Muntilan, itu diketahui telah over-kapasitas. Hingga saat ini tercatat ada 171 siswa yang mengenyam pendidikan di SLB ini, padahal semestinya sekolah ini hanya dapat menampung 125 siswa saja.

Sekolah luar biasa ini terdiri dari SD LB, SMP LB, dan SMA LB dengan kategori A (tunanetra), C (tunarungu dan wicara), D (tunagrahita) dan D (tunadaksa).

"Kondisi ini menyebabkan proses belajar mengajar tidak maksimal karena siswa berdesak-desakan dalam satu ruang kelas. Kami terpaksa membuat sekat triplek maupun kaca dalam satu ruang agar menjadi dua ruang kelas," jelas Kepala SLB Ma'arif Muntilan, Sugiranto.

Akibat kelebihan kapasitas ini, lanjut Sugiranto, para siswa tidak mendapatkan haknya mengenyam pendidikan. Misalnya, siswa tunarungu dan wicara tidak mendapatkan terapi wicara karena ruangan terapi sudah dialihfungsikan menjadi ruang kelas.

"Idealnya satu kelas hanya untuk lima siswa karena anak berkebutuhan khusus memang membutuhkan perhatian khusus," ucap Sugiranto.

Sugiranto juga mengaku dilematis setiap memasuki tahun ajaran baru. Banyak siswa difabel yang ingin bersekolah di SLB yang sudah berdiri sejak 1984 itu. Dikatakan, jika pihaknya menampung, maka tidak ada ruang kelas lagi. Sebaliknya, jika tidak diterima, maka sama saja melanggar undang-undang.

Butuh Rp 1,5 milliar

Oleh karena itu, pada akhir 2014 lalu pihaknya berencana membeli tanah seluas 2.113 meter persegi seharga Rp 1,5 miliar yang letaknya persis di depan sekolah. Namun harga yang ditawarkan dinilai sangat tinggi, pihaknya tidak bisa membayar saat itu juga. Sementara pemerintah daerah setempat dan yayasan yang memayungi sekolah itu juga tidak sanggup membantu.

"Para guru rela patungan mengumpulkan Rp 50 juta sebagai down payment (DP) agar tanah itu tidak dibeli pihak lain. Apalagi informasi yang kami peroleh, pihak lain itu akan membangun gudang penyimpanan semen dan garasi mobil, tentu jika hal itu terjadi akan sangat mengganggu anak-anak. Kasihan mereka," ungkap Sugiranto.

Sejauh ini, pihaknya sudah menyebar sedikitnya 500 buah proposal ke berbagai instansi dan perusahaan baik di sekitar Jawa hingga Kalimantan. Ia ingin mengetuk hati masyarakat untuk turut membantu berpartisipasi mengumpulkan dana sehingga tanah tersebut bisa terbeli. Dengan demikian siswa difabel bisa nyaman belajar dengan nyaman.

Salah satu siswa difabel SLB Ma'arif Muntilan, Rahmat, mengaku ia harus belajar berdesak-desakan karena keterbatasan ruang yang ada. Kondisi ini mendorong mereka untuk menyisihkan uang jajan guna membantu pengadaan tanah dan pembangunan sekolah.

"Kami ingin membantu sekolah, untuk beli tanah, untuk membangun kelas. Agar kami tidak berdesak-desakan kalau belajar," ucap Rahmat, siswa tunanetra itu.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com