Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kisah Remaja Tunanetra Ditinggal Orangtua hingga Tinggal di Sekolah

Kompas.com - 12/05/2015, 16:43 WIB
Kontributor Yogyakarta, Wijaya Kusuma

Penulis


YOGYAKARTA, KOMPAS.com — Keterbatasan fisik berupa kebutaan sejak lahir hingga ditinggalkan oleh orangtuanya tak menyurutkan niat Slamet (16) untuk terus sekolah. Remaja asli Muntilan ini pun tinggal di ruang Pramuka di SMP 2 Sewon Bantul karena tidak mempunyai tempat tinggal.

Baginya, pendidikan merupakan sebuah kebutuhan, apalagi untuk mencapai cita-citanya menjadi seorang penulis. Sebab, menurut dia, hanya ilmu pengetahuan serta perilaku baik yang mampu melengkapi kekurangan fisik.

"Belajar itu kebutuhan bagi manusia untuk maju ke depan. Saya yang memiliki kekurangan harus mempunyai ilmu pengetahuan mumpuni untuk melengkapi," kata Slamet saat ditemui, Selasa (12/05/2015) siang.

Slamet menuturkan, sejak 2011, ia sudah berada di Yogyakarta dan bersekolah di Yayasan Kesejahteraan Tunanetra Islam di Danunegaran. Selama dua tahun berjalan, ia masih dikirimi uang oleh kedua orangtuanya yang berada di Klaten untuk bayar sekolah dan asrama.

Tahun 2013 menjadi puncak ujian kehidupan Slamet sebab kedua orangtuanya tak kunjung mengirim uang dan tak ada kabar. Anak ketiga dari tiga bersaudara ini pun memutuskan pulang ke Muntilan untuk menemui kedua orangtuanya. Namun, sesampainya di Muntilan, ia mendapati rumah kontrakan keluarganya sudah kosong.

"Bapak ibu kan ngontrak, pas saya pulang rumah, sudah kosong, mereka pergi, meninggalkan saya," ujarnya.

Dengan perasaan tak menentu, Slamet memutuskan kembali ke Yayasan Kesejahteraan Tunanetra Islam di Danunegaran. Slamet pun harus memutar otak untuk menyelesaikan permasalahan keuangan, sementara ia menginginkan untuk tetap sekolah.

"Sebulan Rp 50.000 itu untuk bayar sekolah, asrama, dan makan di yayasan. Ya binggung harus gimana. Saya hanya bisa berdoa kepada Allah," ucapnya.

Doa Slamet pun terjawab. Ia terpilih mewakili sekolah yayasan untuk maju dalam pertandingan tenis meja tingkat nasional. Perjuangan kerasnya pun akhirnya membuahkan hasil. Remaja yang mempunyai hobi membaca novel dan menulis cerpen ini meraih juara pertama.

"Target saya pokoknya juara, entah 1, 2, atau 3. Biar bisa untuk bayar sekolah, eh ternyata saya juara 1, dapat Rp 4 juta," ujarnya.

Uang hasil perjuangannya itu digunakan untuk membayar sekolah dan hidup sehari-hari hingga lulus sekolah. Tak berhenti di situ, setelah lulus, Slamet pun mencoba mencari informasi sekolah SMP. Dari beberapa sekolah, dia memilih untuk mendaftar di SMP 2 Sewon Bantul.

"Saya daftar sendiri dan cari kos sendiri. Saya ingin sekolah pokoknya, biayanya dari Rp 4 juta dulu itu," tuturnya.

Lama-kelamaan, uang Rp 4 juta yang ada di tabungan pun mulai berkurang, Slamet merasa tak mampu lagi untuk membayar uang kos. Dalam situasi itu, Slamet menemui gurunya dan menyampaikan kesulitannya. Bahkan, dia sempat terucap ingin keluar dari sekolah karena memang kondisinya tidak memungkinkan.

"Saya mau keluar, berhenti sekolah. Tidak enak kalau merepotkan, tapi tidak boleh," katanya.

Melihat begitu besar niat Slamet untuk sekolah, guru yang menjadi tempat curhat menyampaikan ke kepala Sekolah. Mendengar cerita itu, Kepala Sekolah SMP 2 Sewon Bantul Asnawi memutuskan memberikan ruang Pramuka yang kosong sebagai tempat tinggal Slamet.

Halaman Berikutnya
Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com