Pertemuan itu, lanjut Wandansari, untuk mencari solusi terbaik soal polemik di Keraton Yogyakarta, sehingga persoalan itu tidak berlarut-larut. Ia juga meminta Keraton Yogyakarta bercermin ke Surakarta yang kini terbelah menjadi dua raja.
"Ya, dikumpulkan saja. Tanya maksudnya (sabda Raja). Di Solo ada plt, karena raja tidak bisa melindungi sentono dalem dan abdi dalem (keluarga dan abdi) ," jelasnya, Rabu (6/5/2015).
Menurut dia, sebagai trah Kerajaan Mataram, pihak Keraton Yogyakarta sudah seharusnya tetap menjalankan adat paugeran yang telah ada. Jika tidak mau mengikuti paugeran atau ingin membuat sesuatu yang baru, maka harus keluar dari adat.
"Saya, kita semua bagian dari manusia adat. Kalau tidak mau, ya keluar dari lingkungan adat," tandasnya.
Sementara itu, sejarawan dari Universitas Sanata Dharma Yogyakarta, Silverio Aji Sampurno berpendapat, Sri Sultan HB X perlu menjelaskan ke kerabat Keraton terkait perubahan nama GKR Pembayun dan pengangkatanya sebagai Putri Mahkota meski hal itu merupakan wewenang Sultan. [Baca juga: GKR Pembayun Jadi Putri Mahkota? Ini Komentar Sultan HB X]
"Itu memang wewenang Ngarso Dalem sebagai Raja. Hanya saja, alangkah baiknya Ngarso Dalem memberikan penjelasan ke kerabat," katanya.
Ia berharap, masyarakat tidak ikut berpolemik mengenai masalah internal Keraton. Jangan pula sampai ada "investor" politik yang lalu masuk dan memanfaatkan polemik tersebut sehingga menjadi berkepanjangan.
"Keraton Solo bisa menjadi cerminan. Semoga segera ada solusi. Kita tunggu saja biar Keraton yang menyelesaikan secara internal," pungkasnya.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.