Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Sawit Marak, Sagu Mulai Hilang

Kompas.com - 17/04/2015, 17:57 WIB

MERAUKE, KOMPAS — Maraknya ekspansi perusahaan perkebunan sawit di sejumlah daerah di Merauke, Papua, mulai mendapat penolakan dari masyarakat adat. Di Desa Muting, sejumlah warga menolak perusahaan sawit karena dianggap merusak alam sehingga membuat warga kesulitan mencari sagu sebagai makanan pokok.

Sekretaris Lembaga Masyarakat Adat Distrik Muting Faustinus Ndiken menyatakan, sejak 2010 ada tujuh perusahaan sawit yang masuk ke wilayah Malind Mbyan Anim. "Ketujuh perusahaan tersebut menyerobot tanah adat dan menduduki lahan seluas kira-kira 280.000 hektar," ujarnya di Distrik Muting, Selasa (14/4).

Dia mengatakan, 280.000 hektar itu milik belasan masyarakat adat. Beberapa lahan tersebut antara lain milik Marga Mahuze, Ekoki, Gue, Tinggin, Burok, Basik-Basik, Touwaap, Gembenop, Omba, Tomba, dan Renggam.

Perusahaan sawit, lanjutnya, menguasai tanah adat tanpa perjanjian yang jelas. Tidak hanya itu, warga bahkan menemukan adanya indikasi penipuan dalam perjanjian pengelolaan sawah terhadap perusahaan sawit.

Mantan Kepala Suku Malind Mbyan Anim, Distrik Muting, Robert Palas Kaize, menuturkan, sejak perusahaan sawit masuk ke Muting, lingkungan dan hutan mereka menjadi rusak. "Dulu alam menjadi lumbung makanan untuk kami, tetapi saat ini yang terjadi kami justru kesulitan mencari sagu dan ikan. Bayangkan saja, sagu yang menjadi makanan pokok kami sekarang hilang," ujarnya.

Hal senada disampaikan Agustinus Omben Mahuze, sekretaris marga Mahuze. Menurut dia, sagu tidak hanya menjadi sumber makanan pokok, tetapi juga menjadi tanaman sakral dan lambang adat. "Dahulu membuang sagu bisa terkena hukum adat, tetapi sekarang orang datang bisa tebang sagu seenaknya," ujarnya.

Untuk menghasilkan tepung sagu yang baik, menurut Agustinus, pohon sagu harus mendapat air bersih. Namun, setelah tanaman sawit marak, banyak pohon sagu kesulitan mendapatkan air bersih yang cukup.

"Tanah di sekitar pohon sagu seharusnya tanah hitam. Namun, kini sagu hidup di sekitar tanah merah bekas pembukaan lahan sawit. Akibatnya, tepung sagu tidak banyak dan kualitasnya tidak sebaik 10 tahun lalu. Kami khawatir sagu akan mati," ujarnya.

Tak hanya sagu, ikan sebagai makanan utama masyarakat Distrik Muting perlahan juga berkurang akibat terdampak limbah perusahaan perkebunan sawit.

"Sejak tahun 1992, air di sepanjang Sungai Bian rusak karena pestisida perusahaan sawit yang jaraknya 150 kilometer dari kampung kami. Ikan hercules, arwana, dan gastor mulai jarang kami temukan. Kalaupun ada, ukurannya kecil," ujar Alfonsus Renggam, warga Kampung Selil.

Secara terpisah, Manajer Kebun PT Agri Cipta Persada Firdaus Tandibua mengatakan, masuknya perkebunan sawit merupakan cara untuk memajukan kawasan. "Apakah warga di sini tetap mau mempertahankan cara hidup berburu dan makan dari sagu terus-menerus. Ini sebuah hukum kekekalan massa. Kalau sebuah daerah ingin menjadi kota yang maju, mau tidak mau ya hutannya ditebang," katanya. (GER)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Pj Gubri Ajak Pemkab Bengkalis Kolaborasi Bangun Jembatan Sungai Pakning-Bengkalis

Pj Gubri Ajak Pemkab Bengkalis Kolaborasi Bangun Jembatan Sungai Pakning-Bengkalis

Regional
Diskominfo Kota Tangerang Raih Penghargaan Perangkat Daerah Paling Inovatif se-Provinsi Banten

Diskominfo Kota Tangerang Raih Penghargaan Perangkat Daerah Paling Inovatif se-Provinsi Banten

Regional
Fakta dan Kronologi Bentrokan Warga 2 Desa di Lombok Tengah, 1 Orang Tewas

Fakta dan Kronologi Bentrokan Warga 2 Desa di Lombok Tengah, 1 Orang Tewas

Regional
Komunikasi Politik 'Anti-Mainstream' Komeng yang Uhuyy!

Komunikasi Politik "Anti-Mainstream" Komeng yang Uhuyy!

Regional
Membedah Strategi Komunikasi Multimodal ala Komeng

Membedah Strategi Komunikasi Multimodal ala Komeng

Regional
Kisah Ibu dan Bayinya Terjebak Banjir Bandang Berjam-jam di Demak

Kisah Ibu dan Bayinya Terjebak Banjir Bandang Berjam-jam di Demak

Regional
Warga Kendal Tewas Tertimbun Longsor Saat di Kamar Mandi, Keluarga Sempat Teriaki Korban

Warga Kendal Tewas Tertimbun Longsor Saat di Kamar Mandi, Keluarga Sempat Teriaki Korban

Regional
Balikpapan Catat 317 Kasus HIV Sepanjang 2023

Balikpapan Catat 317 Kasus HIV Sepanjang 2023

Regional
Kasus Kematian akibat DBD di Balikpapan Turun, Vaksinasi Tembus 60 Persen

Kasus Kematian akibat DBD di Balikpapan Turun, Vaksinasi Tembus 60 Persen

Regional
Puan: Seperti Bung Karno, PDI-P Selalu Berjuang Sejahterakan Wong Cilik

Puan: Seperti Bung Karno, PDI-P Selalu Berjuang Sejahterakan Wong Cilik

Regional
Setelah 25 Tahun Konflik Maluku

Setelah 25 Tahun Konflik Maluku

Regional
BMKG: Sumber Gempa Sumedang Belum Teridentifikasi, Warga di Lereng Bukit Diimbau Waspada Longsor

BMKG: Sumber Gempa Sumedang Belum Teridentifikasi, Warga di Lereng Bukit Diimbau Waspada Longsor

Regional
Gempa Sumedang, 53 Rumah Rusak dan 3 Korban Luka Ringan

Gempa Sumedang, 53 Rumah Rusak dan 3 Korban Luka Ringan

Regional
Malam Tahun Baru 2024, Jokowi Jajan Telur Gulung di 'Night Market Ngarsopuro'

Malam Tahun Baru 2024, Jokowi Jajan Telur Gulung di "Night Market Ngarsopuro"

Regional
Sekolah di Malaysia, Pelajar di Perbatasan Indonesia Berangkat Sebelum Matahari Terbit Tiap Hari

Sekolah di Malaysia, Pelajar di Perbatasan Indonesia Berangkat Sebelum Matahari Terbit Tiap Hari

Regional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com