Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kisah Bupati Purwakarta Melawan Privatisasi Air

Kompas.com - 10/04/2015, 19:44 WIB
Kontributor Bandung, Reni Susanti

Penulis

BANDUNG, KOMPAS.com – Senin, 23 Maret 2015 lalu terasa berbeda. Sejak pagi, Bupati Purwakarta Dedi Mulyadi bergegas. Ia ditemani stafnya mendatangi Polres Purwakarta untuk melaporkan kasus pencurian air di wilayahnya, hal yang tidak pernah dilakukan kepala daerah sebelumnya di Jawa Barat.

Dedi mengaku geram dengan pengusaha tersebut. Karena, sudah lama ia memberi peringatan tertulis maupun lisan agar kegiatan pengambilan air bersih dan menjualnya dihentikan. Namun bukannya berhenti, pengusaha air bersih tersebut makin anteng dengan bisnisnya itu.

“Saya akan pidanakan mereka yang mengomersilkan air, karena air merupakan kepentingan publik. Jangan salah, krisis air lebih berbahaya dibandingkan krisis BBM. Karena tanpa air, orang bisa saling bunuh, di sawah, di rumah, dimanapun. Kenapa kita selalu heboh masalah BBM, padahal masalah air jauh lebih penting,” ujar Dedi dalam diskusi Privatisasi Air dan Hak Warga Asia Afrika di Media Center KAA, Jumat (10/4/2015).

Dedi sadar langkahnya memidanakan pengusaha air tak akan membuat mereka jera. Selama ini, aparat melarikan persoalan pencurian air pada masalah perizinan bukan pada esensi pentingnya menyelamatkan air. Akibatnya, hukuman yang diperoleh pengusaha sangat ringan dan sama sekali tidak memberikan efek jera.

“Penyidik belum memahami persoalan air adalah masalah pidana, sehingga kerap menjadi pelanggaran perda yang hukumannya tidak sebanding dengan pendapatan yang mereka peroleh,” tuturnya.

Andalkan ketua RT

Untuk itu, ia berharap Walhi nasional, Polri, dan kementerian terkait segera duduk bersama membicarakan putusan MK tersebut. Ia menilai, harus ada aturan jelas yang bisa digunakan untuk aparat kepolisian maupun pemerintah daerah dalam menyelesaikan persoalan tersebut.

“Kalau mengandalkan aparat, saat ini tidak maksimal. Akhirnya saya mengandalkan RT, RW, dan Linmas (perlindungan masyarakat) di Purwakarta,” tuturnya.

Kebetulan, sambung Dedi, gaji ketua RT dan RW, serta Linmas di Purwakarta tertinggi di Indonesia. Ia mengancam dana untuk RT, RW, dan Linmas tidak akan turun jika di daerahnya terdapat tindakan komersialisasi air. Rupanya, cara tersebut lebih efektif dibanding mengandalkan aparat.

“Persoalan air akhirnya diselesaikan oleh RT, RW, dan Linmas tersebut. Mereka dengan sendirinya menutup praktik komersialisasi ini,” imbuhnya.

Beli mata air

Agar persoalan privatisasi air tidak makin meluas, Dedi bertekad akan membeli semua mata air di Purwakarta. Namun langkah tersebut kerap berbenturan dengan perbedaan antara harga yang diminta masyarakat dengan perkiraan yang dikeluarkan konsultan.

Ia mencontohkan, beberapa waktu lalu ada seorang perempuan menemuinya untuk menjual tanah seluas 300 meter yang di dalamnya terdapat beberapa titik mata air. Perempuan itu meminta harga yang tinggi, sekitar Rp 3 miliar atau Rp 10 juta/meter. Padahal menurut perhitungan appraisal, untuk lahan di pegunungan harganya jauh di bawah itu.

“Itu masalah yang sering kami hadapi di lapangan. Pernah saya menawar satu titik mata air Rp 200 juta, tanahnya tetap milik perorangan. Tapi mereka menolak, karena hasil yang diperoleh dari menjual air lebih menguntungkan,” ucapnya.

Karenanya, langkah yang paling efektif dan cepat adalah pemerintah menyediakan infrastruktur air dengan membangun pipa-pipa. Nantinya, mata air dimiliki pemerintah, dialirkan melalui pipa yang dibangun pemerintah. Pengelolaannya sendiri melibatkan masyarakat.

“Itu yang akan Purwakarta lakukan. Ketika berbicara infrastruktur bukan hanya masalah jalan lho, tapi pipa juga infrastruktur,” tuturnya.

Tiga tahun lalu, pihaknya baru membebaskan 10 hektar lahan di Leuweung Tiis. Saat ini pihaknya masih menghitung berapa titik yang harus dibebaskan pemerintah.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com