"Kalau melihat Undang-Undang (UU) Keistimewaan DIY, memang ada potensi multitafsir terkait jenis kelamin calon gubernur dan wakil gubernur DIY," kata dosen Jurusan Ilmu Pemerintahan Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY), Ane Permatasari, Kamis (2/4), di Yogyakarta.
Seperti diberitakan, Pemerintah Daerah DIY dan DPRD DIY mengesahkan Peraturan Daerah Istimewa (Perdais) DIY tentang Tata Cara Pengisian Jabatan, Pelantikan, Kedudukan, Tugas, dan Wewenang Gubernur dan Wakil Gubernur, Selasa lalu. Pengesahan perdais sebagai turunan UU Keistimewaan DIY itu dilakukan sesudah ada perdebatan ihwal syarat calon gubernur dan wakil gubernur (wagub) yang tercantum dalam aturan tersebut.
Pasal 3 Ayat 1 Huruf m dari aturan itu menyatakan, calon gubernur dan wagub DIY harus menyerahkan daftar riwayat hidup yang memuat, antara lain, riwayat pendidikan, pekerjaan, saudara kandung, istri, dan anak. Bunyi pasal itu sama persis dengan Pasal 18 Ayat 1 Huruf m UU Keistimewaan DIY. Sebagian kalangan menafsirkan, pasal itu mengharuskan Gubernur dan Wagub DIY dijabat oleh laki-laki.
Kini, sesudah perdais itu disahkan, muncul perdebatan kembali ihwal penafsiran Pasal 3 Ayat 1 Huruf m dalam aturan itu. Gubernur DIY sekaligus Raja Keraton Yogyakarta, Sultan Hamengku Buwono X, berpendapat, pasal itu tak mengharuskan Gubernur dan Wagub DIY dijabat oleh laki-laki (Kompas, 2/4).
Ane memaparkan, memang bisa ada beberapa tafsir ihwal Pasal 3 Ayat 1 Huruf m Perdais Tata Cara Pengisian Jabatan Gubernur dan Wagub. Tafsir pertama adalah Gubernur dan Wagub DIY harus dijabat oleh laki-laki karena pasal itu mengharuskan calon gubernur dan wagub mencantumkan nama istri. Namun, pasal itu bisa juga ditafsirkan membolehkan perempuan menjadi gubernur dan wagub.
"Sebab, di dalam pasal itu ada frasa 'antara lain'. Ini berarti pasal tersebut merupakan open legal policy (kebijakan hukum yang terbuka) sehingga bisa ditafsirkan tak ada larangan perempuan menjadi Gubernur DIY," kata Kepala Pusat Studi Wanita UMY itu.
Ane menilai tafsir kedua lebih kuat karena jika Pasal 3 Ayat 1 Huruf m Perdais Tata Cara Pengisian Jabatan Gubernur dan Wagub ditafsirkan secara kaku, akan muncul beberapa masalah. "Misalnya, bagaimana jika nanti calon gubernur adalah pria yang belum memiliki istri? Apakah dia tak boleh menjadi gubernur karena ada aturan yang mengharuskan calon gubernur mencantumkan nama istri?" ujarnya.
Suksesi raja
Sultan Hamengku Buwono X menyatakan, polemik ihwal suksesi Raja Keraton Yogyakarta, yang muncul seiring pembahasan Perdais Tata Cara Pengisian Jabatan Gubernur dan Wagub, harus dihentikan. Pembicaraan soal suksesi belum dibutuhkan karena pergantian kepemimpinan di keraton juga belum diperlukan. "Sabda tama, kan, sudah jelas. Belum waktunya suksesi," katanya.
Perdebatan tentang syarat calon gubernur DIY memang melebar ke masalah suksesi kepemimpinan di Keraton Yogyakarta karena Raja Keraton Yogyakarta otomatis menjadi Gubernur DIY. Apalagi, Sultan Hamengku Buwono X tak memiliki anak laki-laki. Di sisi lain, Raja Keraton Yogyakarta selama ini selalu laki-laki. Pada 6 Maret lalu, Sultan selaku raja mengeluarkan sabda tama atau amanat yang meminta kerabat keraton tak membicarakan ihwal suksesi kepemimpinan di Keraton Yogyakarta.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.