Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Perjalanan Panjang untuk Daluang, Sebuah Warisan Budaya...

Kompas.com - 19/03/2015, 12:19 WIB
Kontributor Bandung, Reni Susanti

Penulis

BANDUNG, KOMPAS.com – Memperjuangkan sesuatu yang bernilai tradisi di Indonesia memang bukan hal mudah. Setidaknya itulah yang dialami ahli Filologi dari Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) Bandung, Tedi Permadi.

Dia membutuhkan waktu tak kurang dari 17 tahun untuk menyelamatkan keberadaan kertas tradisional Indonesia “daluang”. Daluang adalah kertas Jawa yang terbuat dari serat kayu Pohon Daluang atau dikenal dengan sebutan Saeh di tanah Sunda.

Dahulu kala, daluang digunakan sebagai media naskah kuno dan wayang beber. Daluang yang tipis juga digunakan untuk pakaian pendeta, kopiah, serta karton. Bahkan bagi umat Hindu, daluang adalah kertas suci yang digunakan sebagai ketitir dalam pelebon atau ngaben, sebagai kethu (mahkota penutup kepala untuk upacara keagamaan), tika (kalender hindu Bali) dan lainnya.

“Daluang memiliki banyak keutamaan. Berdasarkan penelitian teranyar, sebagai media tulis, serat kayu daluang yang tergolong dalam pohon paper mulberry adalah serat paling bagus. Bahkan restorasi dan pengarsipan di dunia, menggunakan serat murni ini karena bebas asam sehingga kuat hingga berabad-abad,” ujar Tedi kepada Kompas.com, Rabu (18/3/2015).

Namun manfaat yang besar tidak sebanding dengan pembudidayaan pohon daluang itu sendiri. Ia mencatat, pohon ini mulai langka di Indonesia pada tahun 1960-an, seiring dengan berkurangnya jumlah pelaku. Bahkan di sejumlah daerah penghasil daluang, tidak ada regenerasi, hingga dengan perlahan daluang pun hanya tinggal sejarah.

Sebenarnya, dari dokumen Departemen Kehutanan, di pertengahan tahun 70-an, Indonesia pernah menanam daluang di atas lahan ratusan hektar. Namun di akhir tahun 70-an, pemerintah melakukan kajian dan menilai daluang tidak menguntungkan secara ekonomi. Hingga akhirnya di awal tahun 80-an pohon ini dibabat habis diganti pohon pinus.

“Padahal di Thailand jadi tanaman ibu suri. Bahkan di Jepang, dibudidayakan dengan baik, dan perajin kertas tradisionalnya (kozo) disubsidi negara. Pemerintah Indonesia hanya melihat dari nilai ekonomi tidak melihat dari benefit,” tutur dia.

Melihat kondisi ini, ia bertekad untuk menjaga bagian warisan budaya Indonesia tersebut. Caranya dengan penelitian yang dimulai tahun 1997. Saat itu ia menelusuri naskah-naskah kuno serta berbagai referensi daluang di antaranya peneliti Belanda, K Heyne.

Dari berbagai referensi yang diperoleh, ia menemukan tiga tempat lokasi daluang. Yakni Kampung Tunglis, Desa Cinunuk, Garut; Pesantren Tegal Sari di Kecamatan Jetis, Ponorogo; serta Ambunten dan Gulu-gulu di Sumenep, Jawa Timur.

Ia menyusuri ketiga lokasi tersebut yang berlanjut ke sejumlah daerah di Indonesia seperti Sulawesi. “Di tengah penelitian saya meminta bantuan ke orang ITB, karena daluang harus diperbanyak. Saya libatkan banyak orang untuk budidaya dan memperbaikan alat pembuatan kertas (pameupeuh/panepuk). Tapi buka hanya pohon, saya juga menanam orang melalui workshop, seminar, dan lainnya,” ucapnya.

Tak hanya itu, daluang dimasukkan dalam akademik pada 2005 sebagai bagian dari kodikologi atau ilmu tentang bahan naskah kuno. Ada sejumlah kampus yang mempelajari daluang, di antaranya Universitas Padjadjaran (Unpad), Universitas Gadjah Mada (UGM), dan Universitas Indonesia (UI).

Hingga tahun 2014 lalu, Tedi mendaftarkan Daluang ke Kemendikbud sebagai “kertas tradisional Indonesia dan “kertas suci umat Hindu di Indonesia”. Setelah melalui verifikasi yang panjang, Oktober 2014 Kemendikbud mengeluarkan surat yang menyatakan daluang sebagai Warisan Budaya tak Benda Indonesia.

“Perjalanannya cukup panjang dari tahun 1997 hingga 2014. Tahun ini akan mengurus soal patennya,” imbuhnya.

Tedi mengungkapkan, dari pengalaman beberapa penelitian, yang paling sulit adalah menarik partisipasi pihak lain, seperti pemerintah, swasta, dan masyarakat umum. “Seperti penelitian daluang, saya berjalan seorang diri. Berbeda dengan penelitian aksara sunda dan kujang, cukup banyak pihak yang terlibat,” imbuhnya.

Begitupun dalam hal pembiayaan, dalam penelitian daluang ia tidak mengandalkan lembaga lain. sebagian besar dana penelitian yang ia habiskan dalam 17 tahun menggunakan dana pribadi. Saat ini, untuk menjaga keberlangsungan daluang, Tedi kerap melakukan pelatihan serta membagikan benih daluang dengan cuma-cuma.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com