Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Jejak Para Perempuan Tangguh di Pasar Klewer Solo

Kompas.com - 02/02/2015, 18:21 WIB

KOMPAS.com
- Pasar Klewer di Kota Solo bukan sekadar wadah transaksi ekonomi. Pasar ini juga menyuguhkan cerita interaksi sosial yang guyub. Terekam pula ketangguhan perempuan di balik laku halus nan luwes. Pasca kebakaran Klewer, kenangan akan pasar ini jadi bibit harapan untuk tetap menjaga warisan sosial budaya itu.

Perancang mode Edward Hutabarat tersentak mendengar kabar Pasar Klewer dilahap api, Sabtu malam, 27 Desember lalu. Baginya Klewer bukan sekadar tempat ia berbelanja batik, melainkan juga tempat di mana ia belajar tentang batik dan kebaya yang melambungkan namanya sebagai desainer.

”Di Pasar Klewer itu aku menemukan napasnya jarik dan kebaya. Bagaimana jarik dan kebaya itu dikenakan di lingkungannya, sesuai fungsi, dan tata nilainya. Bukan dekoratif seperti di pesta-pesta,” ujar Edo, sapaan akrab desainer ini.

Dua pekan sebelum kebakaran, Edo masih berbelanja 400 potong kain batik di Klewer. Ia selalu menikmati kehangatan suasana kekeluargaan di sana. Karena kerap mendatangi Klewer, Edo pun mengenali anak-anak pedagang langganannya yang dulu masih kecil kini tumbuh dewasa dan ikut berdagang. ”Masih kebayang juga pedagang keliling di lorong-lorong sempit Pasar Klewer yang nyunggi makanan di kepala sambil mesem-mesem. Duh!”

Cerita itu seperti rekaman gambar eksotik yang diputar di depan mata. Nina Akbar Tandjung yang melakukan riset di kawasan sentra produksi batik Laweyan, Solo, juga punya banyak kenangan tentang Pasar Klewer.

”Klewer itu lebih dari sekadar pasar. Di Klewer, ada acara berdagang yang khas. Penjual batiknya duduk di amben kayu, kain-kainnya ditumpuk di rak di sekelilingnya. Pembeli juga lesehan di amben, lalu batik yang diminati digelar di situ. Memang begitu cara memilih batik yang betul,” ujar Nina.

Ikatan

Bukan hanya warga dari luar Kota Solo yang menikmati eksotisme Klewer layaknya sebuah obyek wisata. Supriyadi (56), warga Purwosari, Solo, sampai saat ini masih merasa tak sanggup melewati area bekas Pasar Klewer yang kini tinggal puing.

”Saya tidak sampai hati melihat Klewer sekarang. Saya memang enggak ikut rugi karena kebakaran itu, tetapi saya punya banyak bakul langganan di situ. Sudah kenal lama. Sedih banget rasanya,” ujarnya.

Ikatan emosi dengan Pasar Klewer terbangun karena kehangatan pergaulan dalam rentang waktu yang panjang. Sejak diresmikan Presiden Soeharto pada 1971, begitu banyak pedagang dan pelanggan yang sudah menjalin relasi hingga dua generasi di pasar ini. Relasi itu juga kerap tak sebatas di lingkup pasar.

”Kalau bakul atau langganan punya hajatan, kami juga biasa saling mengundang,” ujar Atik Faezati (37), yang meneruskan ibunya berjualan di Pasar Klewer.

Meski kiosnya ikut musnah jadi abu, foto yang disimpan di ponsel Atik ketika menengok Pasar Klewer usai kebakaran adalah cangkir-cangkir blirik yang teronggok di tanah berselimut abu bekas kebakaran.

”Cangkir-cangkir itu modal dagangnya Yu Ronde, langgananku beli wedang,” ujar Atik pilu.

Heri Priyatmoko, sejarawan Kota Solo, menjelaskan, dalam bahasa Jawa, pasar disebut sebagai peken. Kata ini dimaknai sebagai tempat berkumpul yang tidak berkaitan dengan upacara, tidak bermuatan ritual. Pasar menjadi bukti bahwa pemilik modal berada di tangan rakyat, orang kebanyakan.

”Di Pasar Klewer juga kita akan begitu mudah menemukan proses transaksi yang berorientasi kultural Jawa, tuna sathak bathi sanak . Artinya rugi uang seratus tak apa, asalkan beruntung mendapat saudara,” ujar Heri, yang juga putra pedagang Pasar Klewer.

Halaman Berikutnya
Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com