Antrean puluhan truk itu meluber hingga ke jalan raya di depan Kantor DPRD. Akibat aksi ini, karyawan DPRD dan warga kesulitan mencari tempat parkir.
Para sopir mendesak wakil rakyat dan pemerintah setempat agar mencabut larangan bagi truk untuk menggunakan solar bersubsidi. Mereka berdalih tak mempunyai tempat untuk membeli kebutuhan bahan bakar minyak (BBM) yang cukup untuk menunjang operasional truk.
Mereka juga menggugat tindakan aparat kepolisian yang menangkap para sopir truk berikut kendaraannya, yang kedapatan mengisi BBM bersubsidi. Sebab, saat ditangkap mereka harus membayar "tebusan" sebesar Rp 5 juta kepada petugas, agar bisa bebas.
Jonatan, salah satu sopir truk yang melakukan aksi protes, mengatakan, penangkapan sopir truk yang membeli BBM di Pertamina seharusnya diawali dengan sosialisasi lebih dahulu, minimal tiga hari. Hal ini penting, agar sopir bisa mengerti alasan larangan tersebut.
Para sopir beralasan selama puluhan tahun mereka hanya membeli BBM di SPBU Pertamina tanpa ada larangan, apalagi penangkapan. “Tidak ada sosialisasi lebih dahulu. Para sopir langsung ditangkap di SPBU. Dan, baru bisa lepas setelah mebayar Rp 5 juta per truk,” ujar Jonatan.
Para sopir yang berunjuk rasa ini kemudian diterima oleh perwakilan Komisi III DPRD Mamuju Utara di ruang aspirasi. Sementara, Kepala Polres Mamuju Utara, AKBP Raspani membantah adanya kutipan Rp 5 juta untuk menebus truk yang ditahan.
Menurut Raspani, petugas memamng melakukan penangkapan terhadap para sopir truk yang kedapatan mengisi BBM di SPBU, namun tidak menerapkan uang tebusan. Menurut dia, aturan itu merujuk kepada Surat Edaran Bupati Mamuju Utara.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.