Hampir 1.000 orang berikat kepala kain kuning mengungkap keberatannya dengan menggelar unjukrasa di depan gedung serbaguna Awa Mangkuruku komplek perkantoran Paser, Selasa (14/1/2015).
Mereka menuntut kebijakan "ungu" ini dicabut. Pasalnya, kebijakan warna daerah dinilai menyakiti identitas masyarakat adat yang sudah ada di kabupaten ini sejak lama.
"Warna seharusnya yang identik dengan Paser, dimana ada masyarakat hukum adat di sana. Kita dominan warna kuning tanda kemakmuran dan kejayaan, hitam spiritual, merah kekuatan, dan putih kedamaian. Mesti ada penghargaan pada warga adat," kata koordinator lapangan aksi, Syukran Amin.
Unjukrasa ini kelanjutan dari aksi serupa pada 28 Desember 2014 lalu. Kali ini, massa sejumlah hampir seribuan manusia datang dari 10 kecamatan yang ada di kabupaten ini. Mereka hadir dengan tampilan yang cukup sangar.
Massa menggunakan ikat kepala kuning maupun merah. Sebagian besar di antara mereka menenteng tombak dan sumpit, mandau atau pedang khas suku Dayak menggantung di pinggang. Banyak di antara mereka mengenakan baju serat kayu, menyelipkan daun dirung yang kerap diganakan untuk tradisi belian, bulu burung merak, hingga duri binatang landak.
Mereka masuk ke gedung serbaguna dan membentangkan berbagai spanduk bernada anti-ungu. Kehadiran mereka di sana dilatari kebijakan pemerintah menerapkan "unguisasi" atau mengecat bangunan dan fasilitas umum dengan warna ungu sejak ditetapkannya Peraturan Bupati Nomor 48 yang ditandatangi pada 29 Desember 2013 tentang warna ungu sebagai bagian khazanah lokal Paser.
"Tadinya kami mendiamkan saja. Kami tidak menolak dicat apa saja. Bahkan, ketika awalnya ada pengecatan warna ungu kami masih diam," kata Syukran.
Setahun berjalan, sejumlah warga menemukan bocoran Perbup di internet. Mereka mengaku terkejut dan kecewa bahwa unguisasi dianggap pemerintah daerah sebagai identitas daerah. Warga adat pun merasa tersakiti. Syukran mengatakan, penetapan warna ciri khas daerah dinilai menafikan keberadaan masyarakat adat yang dominan kuning, merah, hitam, dan putih.
"Ketika pemerintah menetapkan warna ungu sebagai ciri khas Paser, kami menggeliat. Pemerintah seharusnya menghargai adanya warga suku asli," kata Sukran.