Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Warga Sumatra Utara Gelar Doa untuk Sitor Situmorang

Kompas.com - 23/12/2014, 00:03 WIB
Kontributor Pematangsiantar, Tigor Munthe

Penulis

PEMATANGSIANTAR, KOMPAS.com - Sejumlah elemen masyarakat di Sumatera Utara menggelar doa bersama serta malam apresiasi untuk sastrawan nasional Sitor Situmorang yang meninggal dunia, Minggu (21/12/2014), di kediamaannya di Belanda. Kegiatan digelar Rumah Karya Indonesia (RKI) bekerjasama dengan sejumlah komunitas seni dan pegiat lingkungan, Senin (22/12/2014).

Sejumlah elemen yang menggelar doa bersama, antara lain, Komunitas Sastra Indonesia (KSI) Medan, Bale Marojahan, Pusat Latihan Opera Batak (PLOT), Medan Seni Payung Teduh, Pusat Dokumentasi dan Pengkajian Kebudayaan Batak Universitas HKBP Nommensen, Forum Sisingamangaraja XII, Suara Sama, Jendela Toba dan Komunitas Bumi. Kegiatan ini dilakukan di dua tempat, yakni Taman Budaya Sumatera Utara pada tanggal 22 dan 23 Desember 2014, pukul 16.00-22.00 WIB. Sedangkan kegiatan khusus akan digelar di tanah kelahiran Sitor Situmorang, Harianboho, 29 Desember 2014 mendatang.

Berbagai materi telah dipersiapkan, antara lain pembacaan puisi dan cerpen Sitor, pemutaran film tentang Sitor, menulis puisi untuk Sitor, orasi budaya, pertunjukan musik tradisi, testimoni serta diskusi terbuka dengan topik “Sitor; Karya dan Perjalanan Hidupnya”. Manajer Program RKI, Ojak Manalu, dalam keterangannya mengatakan, Indonesia telah kehilangan Sitor sebagai salah satu putera terbaiknya.

"Kita mengenal Sitor sebagai sastrawan angkatan '45 yang hidup di tiga zaman. Padahal Sitor lebih dari itu, dia adalah juga tokoh nasional yang berasal dari Sumatera Utara. Di masa hidupnya dia telah berkontribusi bagi bangsa ini, baik melalui karya sastra maupun pemikiran budaya, sejarah dan politiknya. Karena itu kami mengundang siapa saja yang ingin terlibat dalam kegiatan ini,” kata Ojak.

Di tempat terpisah Direktur PLOT, Thompson Hs, mengatakan bahwa dunia internasional telah mengenal Sitor. Begitu juga dengan bangsa Indonesia. Tetapi apakah masyarakat Sumatera Utara, khususnya Harianboho, tempat beliau dilahirkan mengenal Sitor dan karya-karyanya?

“Di Bandung sendiri, para seniman telah beberapa kali menggelar doa dan malam apresiasi untuk Sitor,  ketika mendengar beliau jatuh sakit di Belanda. Ini membuktikan nama besar Sitor. Pemerintah dan masyarakat Sumatera Utara mempunyai tanggung jawab moral terhadap ‘Penyair Danau Toba’ ini,” jelas Thompson.

Diakui Thompson, Sitor pernah mengatakan kepadanya bahwa bagaimana pun ia (Sitor) adalah juga masyarakat Sumatera Utara dan Batak. Pernyataan ini, bagi Thompson harus direfleksikan semua orang. Apalagi salah satu puisinya berjudul “Tatanan Pesan Bunda”, yang memperlihatkan kalau Sitor menulis bahwa ia ingin dikuburkan di samping ibunya di Danau Toba.

“Sitor adalah pribadi yang kompleks. Ia seorang sastrawan, wartawan, pemikir kebudayaan dan juga pecinta lingkungan. Ia sangat mencintai kampung halamannya, Harianboho yang berada di pinggir Danau Toba. Hal itu tertuang dalam karya-karyanya,” ucap Thompson.

Pendapat sama disampaikan Pembina KSI yang juga pegiat budaya Batak di Sumut, Idris Pasaribu. Idris menyampaikan pemerintah Indonesia, khususnya Sumatera Utara, harus memberi perhatian kepada Sitor. Sebab ia bukan hanya sastrawan, tetapi juga cendekiawan yang sudah dikenal di tingkat dunia.

“Jangan lagi ada ada putera Indonesia, khususnya Sumatera Utara yang terabaikan di daerahnya sendiri. Padahal ia sangat dihargai di  negara asing. Sudah ada contoh, Ben M Pasaribu yang namanya menggema di mancanegara tapi tidak diapresiasi pemerintah. Begitu juga Sitor Situmorang. Siapa yang tidak mengenal Sitor?” ujar Idris.

Sitor adalah sastrawan angkatan '45 yang paling produktif, sekaligus menuai banyak apresiasi. Sampai usianya 90 tahun, ia masih tetap menulis. Kumpulan cerita pendek "Pertempuran dan Salju di Paris" (1955) mendapat Hadiah Sastra Nasional BMKN untuk prosa yang terbit tahun 1955-1956. Sedangkan kumpulan sajak "Peta Perjalanan: (1976) mendapatkan Hadiah Puisi Dewan Kesenian Jakarta tahun 1978 untuk buku puisi yang terbit tahun 1976-1977.

Karyanya yang menyentak adalah “Toba Na Sae” yang telah berkali-kali dicetak ulang. Salah satu puisinya, yang paling diperdebatkan adalah “Malam Lebaran”. Puisi satu baris ini, diperbincangkan para akademis sastra dunia selama berpuluh-puluh tahun.

Sitor memulai kariernya dalam bidang jurnalistik. Ia menjadi wartawan harian Suara Nasional dan harian Waspada pada 1945-1947. Ia pernah menjadi dosen Akademi Teater Nasional Indonesia serta anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara mewakili kalangan seniman.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com