Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

"Kalau Sumur Kering, Saya Pakai Air Selokan yang Disaring Dulu"

Kompas.com - 09/12/2014, 10:15 WIB
Kontributor Bandung, Reni Susanti

Penulis

BANDUNG, KOMPAS.com – Pendi (53), duduk di depan pintu rumah Ketua RW 07 Kampung Ciwalengke, Desa Sukamaju, Kecamatan Majalaya, Kabupaten Bandung. Matanya terpusat pada lalu-lalang orang yang bersiap menjalankan aktivitasnya.

“Saya mah kerja serabutan. Diperbantukan ketua RW untuk jadi linmas. Kalau ada kerjaan di Pak RW atau warga sekitar, saya punya uang. Sekali jalan bisa dapat Rp50.000. Tapi itu juga jarang,” ucap Pendi kepada Kompas.com, belum lama ini.

Pendi mengaku, beban hidupnya setiap hari terasa lebih berat. Biaya hidup yang terus meningkat tidak sebanding dengan penghasilan yang ia peroleh. Apalagi, kebutuhan dasar seperti air bersih di daerahnya sangat langka.

Air yang sudah tercemar limbah sejak lama, membuat ia dan warga sekitar harus membeli air kemasan untuk minum dan memasak. Namun, jangankan untuk membeli air kemasan, untuk keperluan sehari-hari seperti makan pun, dia kesulitan.

Menanggung lima orang membuatnya tak mampu membeli air kemasan. Beruntung masih ada Ketua RW yang bisa dimintai air. “Pak RW pakai air ledeng (PDAM). Kalau untuk minum sama masak suka minta ke beliau. Tapi untuk mandi, cuci baju, cuci piring, dan keperluan lain saya gunakan air sumur. Kalau sumurnya kering, saya gunakan air selokan yang disaring dulu,”  kata Pendi.

Namun, menggunakan air selokan yang tercemar limbah bukannya tanpa risiko. Ia kerap diserang penyakit kulit. Biasanya, penyakit kulit yang dialaminya sulit sembuh, bisa bertahun tahun. Setelah ke Puskesmas atau ke dokter, kulitnya sembuh, tapi hanya sebentar. Setelah itu muncul lagi.

“Pasti susah sembuh kalau mandinya pakai air kotor. Coba saja mandi pakai air di sini, pasti gatal-gatal. Saya juga yang biasa pakai air di sini, kalau mandi masih merasa suka gatal,” kata Pendi.

Istri Ketua RW 07 Ciwalengke, Ernawati Wear (59) mengaku, warganya kerap terserang penyakit gatal-gatal. Pihaknya hanya bisa berupaya untuk melapor ke desa dan membantu pengurusan BPJS Kesehatan agar warga bisa mengakses lembaga kesehatan dengan lebih murah.

Namun dengan kondisi ekonomi yang terbatas, yang terjangkau BPJS Kesehatan di kampungnya baru 55 KK dari 179 KK. Itupun yang dulunya merupakan peserta Jamkesmas dan Jamkesda. “Di sini ada dua layanan kesehatan terdekat, yakni Poliklinik desa yang buka dua kali seminggu. Satunya lagi Puskesmas Cikaro, dari sini jaraknya 1,5 kilometer,” tutur dia.

Salah satu warga, Pepen mengaku, air sumur di kampungnya cepat kering. Ia menduga, hal ini disebabkan karena kebutuhan air banyak pabrik di sekitar wilayah itu yang tergolong besar. Demi memenuhinya, pabrik menyedot air dengan pompa air yang kekuatannya besar. “Sedangkan sumur warga tidak terlalu dalam. Jadi air sumur akan mudah kering,” imbuh dia.

Bahkan pada musim kemarau kemarin, polisi berpatroli di kampungnya. Karena saat itu, warga, petani, dan pabrik berebut air. Demi menghindari bentrok, polisi pun menjaga daerahnya. 

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com