Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

TPDI Sesalkan Langkah KPK Geledah dan "Sandera" Pegawai Disdik di NTT

Kompas.com - 23/11/2014, 23:40 WIB
Kontributor Kupang, Sigiranus Marutho Bere

Penulis


KUPANG, KOMPAS.com - Tim Pembela Demokrasi Indonesia (TPDI) menuding Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) bertindak arogan dan melanggar Hak Asasi Manusia (HAM) saat melakukan penggeledahan dan pemeriksaan terhadap berbagai dokumen terkait kasus dugaan korupsi pengelolaan dana program Pendidikan Luar Sekolah Dinas Pendidikan Pemuda dan Olahraga (PPO) Nusa Tenggara Timur (NTT), Senin (17/11/2014) lalu.

Koordinator TPDI Petrus Selestinus kepada Kompas.com, Minggu (23/11/2014) mengatakan tindakan KPK menyandera dan mengekang kebebasan seluruh pegawai Pendidikan Khusus dan Layanan Khusus (PKLK) Dinas Pendidikan di Kupang Senin (17/11/2014) yang dimulai pukul 10.00 Wita sampai Selasa (18/11/2014) subuh pukul 04.30 Wita, ketika melakukan penggeledahan dan pemeriksaan sebagaimana diberitakan Pos Kupang edisi 19 November 2014 dengan judul utama KPK "Sandera" pegawai PKLK, jelas telah melanggar KUHAP dan HAM pada sebagian besar pegawai PKLK yang tidak ada hubungan dengan tanggung jawab atas dugaan tindak pidana korupsi pada instansi itu.

“Memang KPK sangat membutuhkan berbagai dokumen terkait upaya membuktikan kesalahan tersangka (Bupati Sabu Raijua, Marthen Dira Tome), akan tetapi ketika upaya itu dilakukan dengan cara-cara yang tidak lazim dan harus menyandera begitu banyak pegawai PKLK, maka tindakan tersebut jelas sebagai tindakan yang arogan, sok kuasa dan bertentangan dengan hukum dan prinsip-prinsip HAM,” kata Selestinus.

Apapun alasannya kata Selestinus, seharusnya KPK terlebih dahulu melakukan pengamanan terhadap lokasi TKP, para pegawai PKLK diberi arahan atas maksud dan tujuan kedatangan KPK, ruangan disteril atau diberi garis polisi, cukup dihadiri oleh tersangka atau pejabat yang bersangkutan dengan dokumen bukti, sementara pegawai lainnya dipulangkan tanpa harus menyendera orangnya dengan merampas HP para pegawai tersebut.

Oleh karena itu, TPDI setuju dengan judul berita Pos Kupang bahwa KPK ‘sandera’ pegawai PKLK, bermalam di kantor selama pemeriksaan dokumen kasus PLS tersebut. pimpinan KPK harus meminta maaf kepada seluruh pegawai PKLK yang disandera dan jika tidak dimaafkan, maka seluruh aparat KPK yang melakukan penyanderaan dan penyekapan terhadap pegawai PKLK yang tidak terkait sebagai saksi atau tersangka dugaan korupsi berhak menuntut KPK baik secara pidana maupun perdata.

TPDI kata dia, percaya bahwa seluruh pegawai PKLK bahkan seluruh masyarakat NTT pasti mendukung KPK melakukan tugas pemberantasan korupsi di NTT yang terkenal semakin ganas dan merata di seluruh instansi negara di NTT, akan tetapi apabila pelaksanaan tugas itu dilakukan dengan cara-cara over acting, melanggar hukum dan HAM, maka KPK juga harus dikoreksi, dievaluasi dan diberikan sanksi atas pelaksanaan tugas yang bertentangan dengan KUHP dan Undang-Undang HAM.

Di dalam Undang-Undang tentang Komisi Pemberantasan Korupsi, juga mengatur bahwa dalam hal KPK menjalankan tugasnya bertentangan dengan hukum, maka pihak yang durugikan akibat perbuatan melanggar hukum yang dilakukan oleh KPK berhak menuntut pertanggungjawaban kepada KPK secara hukum.

“Artinya di sini Undang Undang sudah mengkonstatir bahwa dalam menjalankan tugas pun KPK bisa salah dan melanggar hukum karena itu masyarakat yang dirugikan akibat pelaksanaan tugas KPK yang bertentangan dengan hukum, berhak menuntut KPK untuk bertanggungjawab dan bisa saja segala hasil penggeledahannya dinyatakan batal dan tidak sah,” jelas Selestinus.

Selestinus mengatakan, KPK harusnya sudah dewasa dan lebih dewasa dalam bertindak, tidak perlu berlebihan dan over acting. Ia menekankan, semua orang juga tahu bahwa KPK memiliki kekuasaan yang lebih besar dari Kepolisian dan Kejaksaan, akan tetapi kekuasaan yang lebih besar itu tetap dalam batas-batas yang normatif dan tidak sampai melanggar HAM dan hak-hak lainnya dari orang-orang yang tidak ada sangkut pautnya dengan perbuatan korupsi para pejabat di PKLK yang saat ini sudah jadi tersangka tersebut.

TPDI berharap hal seperti ini harus diakhiri oleh KPK, karena polisi dan jaksa juga walaupun dalam pemberantasan korupsi masih kalah jauh gerakannya dengan KPK, akan tetapi dalam melakukan penggeledahan dan upaya paksa lainnya, jauh lebih santun dan terukur sesuai dengan KUHAP. Dalam soal semacam ini KPK harus berguru kepada Kepolisian dan Kejaksaan walaupun mereka yang bertindak sebagai penyidik di KPK itu juga adalah aparat Kepolisian dan Kejaksaan.

“Padahal acuan hukum acara yang digunakan KPK adalah sama yaitu KUHAP dengan beberapa pasal yang dikecualikan tetapi tidak untuk menyandera dan melanggar hak dan HAM pihak lain, tidak ada semua orang HP nya disita dan dirampas dan tidak boleh pulang ke rumah sebelum KPK selesai merampas dokumen. Ini yang namanya tujuan baik menghalalkan cara sekalipun melanggar Hukum dan HAM pihak lain yang tidak tahu menahu,” tutupnya.

Diberitakan sebelumnya Tim Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang berjumlah 10 orang mendatangi Dinas pendidikan dan Kebudayaan Nusa Tenggara Timur (NTT) dan melakukan penggeledahan di ruang bidang Pendidikan Luar Sekolah (PLS) sejak Senin (17/11/2014) pagi sekitar pukul 10.00 Wita hingga Selasa (18/11/2014) dinihari tadi sekitar pukul 5.00 Wita. Penggeledahan tersebut terkait dengan penetapan mantan Kepala Subdinas PLS Provinsi NTT sekaligus Bupati Sabu Raijua Marthen Dira Tome, sebagai tersangka oleh KPK dalam kasus dugaan korupsi dana PLS.

Pantauan Kompas.com, kehadiran tim KPK dengan menggunakan rompi bertuliskan KPK yang dikawal puluhan anggota Gegana Brimobda NTT membuat seluruh staf Pegawai Negeri Sipil di kantor tersebut kebingungan karena tanpa ada pemberitahuan terlebih dahulu. Dengan membawa tiga koper dan satu kardus berisi sejumlah dokumen, tim KPK itu langsung bergerak menuju ruang bidang PLS yang menjadi target penggeledahan.

Saat berada di dalam ruangan itu penyidik KPK meminta semua staf dinas Pendidikan yang berada dalam ruangan itu untuk menghentikan sementara aktivitasnya. Bukan hanya itu saja, semua telepon genggam para staf dinas Pendidikan termasuk juga Kepala Bidang PLS Benny Wahon juga disita sementara. Namun pada saat hendak memulai penggeledehan, tanpa diduga listrik dari jaringan PLN pun padam.

Tanpa sedikitpun meminta bantuan kepada para staf yang berada di ruangan itu, tim KPK lantas mengupayakan penyediaan genset. Aktivitas penggeledahan pun bisa kembali dimulai. Tim KPK lantas mencocokan dokumen yang mereka bawa dengan dokumen yang berada di bidang PLS tersebut. Termasuk juga beberapa unit komputer yang selama ini disimpan di gudang. Juru bicara KPK Johan Budi yang dihubungi melalui pesan singkat dari Kupang, NTT, hingga berita ini diturunkan belum juga merespons.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com