Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Sunda Wiwitan, Ketika Mereka Dipaksa Jadi "Bunglon"

Kompas.com - 14/11/2014, 16:22 WIB
Kontributor Bandung, Reni Susanti

Penulis

BANDUNG, KOMPAS.com — Dari selembar kertas, Ira Indrawardana kebingungan. Bocah berusia 9 tahun itu tak mampu mencerna kalimat pertanyaan yang tertulis di atas kertas tersebut. Pertanyaan itu berisi lima kolom agama: Islam, Kristen, Katolik, Hindu, dan Buddha.

Ira diminta oleh gurunya untuk memilih salah satu. Bukannya menjawab, ia malah bingung dan tak mampu mengisi. Karena ia sadar tak ada agamanya tertera di kelima kolom tersebut, ia pun memutuskan untuk meminta bantuan sang ayah.

Keesokan harinya, sang ayah menemui gurunya. Saat itu, ia meminta guru untuk tidak menyuruh anaknya memilih agama lantaran tak akan mengerti dan masih terlalu kecil.

"Bapak saya lalu bertanya, 'Ini sekolah apa?'. Guru saya menjawab Katolik. Lalu, ayah berkata, 'Didik saja anak saya dengan Katolik yang benar, tapi jangan suruh anak saya memilih. Kalau mau ke gereja, silakan pergi ke gereja, tetapi jangan dibaptis,'" ucap Ira mengenang masa kecilnya.

Ira terbilang berprestasi di SD Yos Sudarso, Cigugur, Kuningan. Dia memperoleh nilai bagus di mata pelajaran umum maupun agama (Katolik).

"Saya ke gereja. Kalau ada Natal, saya juara lomba puisi. Ada acara Paskah, saya memerankan Yesus yang disalib. Tapi, hati saya berkata, saya bukan Katolik, saya Sunda Wiwitan," ujarnya kepada Kompas.com di Bandung, Jumat (14/11/2014).

Jadi "bunglon"

Ira mengungkapkan, pemerintah saat itu tak memberi kesempatan penghayat seperti dirinya untuk mempelajari keyakinannya di sekolah. Pemerintah lewat kebijakannya secara tidak langsung memaksa penghayat mempelajari lima agama resmi untuk bisa lulus sekolah.

"Kami tak punya pilihan lain. Kalau menolak, nilai agama di rapot kosong. Masa ada nilai yang kosong? Buat kami ini tidak mudah. Untuk memperoleh hak pendidikan, kami dipaksa menjadi 'bunglon'. Kami bisa menjadi Muslim, Kristen, Katolik, atau agama lainnya yang diakui negara," ungkapnya.

Meski begitu, keinginan pindah agama tak pernah terlintas dalam pikirannya. Meski dia mempelajari Katolik dan Islam semasa SD-SMA, keimanannya tetap pada Sunda Wiwitan.

Seperti saat dia daftar di jurusan Antropologi Universitas Padjadjaran (Unpad) Bandung pada 1993 silam. Saat itu, dia kembali harus mengisi lima kolom agama yang diakui negara. Hatinya bergejolak ketika akan mengisi.

Pemerintah tidak adil dan semena-mena terhadap penghayat. Padahal, Sunda Wiwitan sudah ada sebelum Indonesia ini didirikan. Namun, pemerintah dengan seenaknya mengatur, mana agama yang diakui atau tidak. Kian keras hatinya berteriak, makin tersadar emosi tak akan menyelesaikan sesuatu.

"Untuk sebuah perjuangan yang lebih besar, perlu sebuah strategi. Akhirnya, dari hasil diskusi dengan orangtua, saya mengisi kolom Katolik di lembar pendaftaran maupun saat membuat KTP," ujarnya.

Ira memilih Katolik bukan tanpa alasan. Jika saat itu Ira memilih Islam, orang sekitar akan memantau apakah dia shalat atau tidak. Namun, dengan memilih Katolik, orang tidak akan memantau Ira pergi ke gereja ataupun tidak.

Berani berterus terang

Halaman Berikutnya
Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com