Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Sejak 1980-an, Kampung Ini Jadi Kampung Jamu

Kompas.com - 31/10/2014, 12:44 WIB
Kontributor Magelang, Ika Fitriana

Penulis

MAGELANG, KOMPAS.com – Sebagian besar warga di Dusun Tempursari Kulon, Desa Tempurejo, Kecamatan Tempuran, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah masih setia memproduksi dan berjualan jamu tradisional, meski beragam obat dan jamu modern semakin menjamur saat ini. Tidak heran jika masyarakat daerah lain menyebut dusun ini sebagai kampung jamu.

Cikal bakal kampung jamu Tempursari ini bermula dari seorang wanita bernama Sabariah (51) asal Dusun Tangkisan, Desa Kemasan, Kecamatan Sawit, Kabupaten Boyolali, Jawa Tengah. Sekitar tahun 1980-an, Sabariah kerap berjualan jamu gendong di wilayah Dusun Tempursari dan sekitarnya.

Saking seringnya Sabariah berjualan di kampung tersebut, ia lantas disunting oleh pemuda setempat, bernama Maulud. Keduanya lantas menikah dan mengembangkan usaha jamu tradisionalnya di Desa Tempursari.

“Awalnya, hanya saya dan istri saya yang bikin jamu, lalu keponakan saya. Sampai akhirnya tetanga-tenagga banyak yang ikut-ikutan buat jamu,” kisah Maulud, Jumat (31/10/2014).

Maulud mengatakan, ada sekitar 108 kepala keluarga yang tinggal di Dusun Tempursari. Hampir 90 persen di antaranya memproduksi dan berjualan jamu tradisional. “Kira-kira 10 kepala keluarga saja yang tidak jadi penjual jamu,” ungkap Maulud, terkekeh-kekeh sembari menumbuk bahan-bahan dasar membuat jamu, seperti kencur, kunyit, jahe dan sebagainya.

Pria berusia setengah abad itu menceritakan, dahulu keluarga dan warga masih menggendong botol-botol jamu lalu berkeliling kampung hingga ke luar kampung. Bahkan menyebar ke penjuru wilayah Kabupaten Magelang, sampai ke Kecamatan Kajoran, Kaliangkrik, Salaman, Tegalrejo, Blabak, dan Mertoyudan yang berjarak puluhan kilometer dari Desa Tempursari.

Namun seiring waktu, kata Maulud, kebanyakan penjual jamu sudah tidak lagi menggendong jamu dagangannya. Tetapi sudah beralih menggunakan sarana sepeda onthel atau bahkan sepeda motor.

“Sekarang ini yang menjual jamu dengan cara digendong nyaris sudah tidak ada. Hampir seluruhnya sudah mengendarai sepeda motor,” tuturnya.

Kendati demikian, jamu-jamu warga Dusun Tempursari masih memiliki banyak penggemar karena masih mempertahankan keaslian dan penggunaan bahan-bahan dasar yang alami.

Maulud menyebutkan, dalam sehari ia bisa membuat beberapa jenis jamu dengan kandungan dan khasiat berbeda-beda. Misalnya, jamu "cabe lempuyang" untuk menyembuhkan badan yang capek, jamu "wejahan" atau "uyub-uyub" untuk wanita menyusui, "beras kencur" untuk obat batuk, "kunir asem" untuk melancarkan wanita datang bulan, "pahitan sambiroto" untuk menambah nafsu makan. Lalu, "kunir suruh" untuk menghilangkan lendir bagi wanita yang mengalami keputihan.

“Semua jenis jamu itu dijual sama rata Rp 2.000 per gelas. Mau membeli Rp 1.000 juga kami layani,'' ucap Maulud yang sehari-hari menjadi imam masjid Dusun ini menjelaskan.

Dalam sehari, Maulud mulai memproduksi jamu sejak pukul 04.00 - 06.30 WIB. Selanjutnya dipasarkan mulai pukul 10.00 WIB. Rata-rata pukul 14.00 WIB dagangan dia sudah habis. ''Kalau saya tidak berjualan akan diprotes para pelanggan. Pelanggan saya sudah puluhan orang, kebanyakan di wilayah Kecamatan Tempuran,'' kata dia.

Dalam sehari, Maulud mampu mengantungi hasil Rp 80.000 per hari, dengan modal usaha rata-rata Rp. 30.000 saja. Sedangkan untuk biaya operasional, dia hanya membeli satu liter bensin.

Dari hasil menjual jamu, Maulud bisa membeli sepeda motor dengan cara kontan. Bahkan, dia juga dapat membangun rumah sendiri. 

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com