Menurut Rasidi, salah satu warga Desa Kacok, lomba ini melibatkan 125 layangan jumbo yang pemiliknya berasal dari dua kecamatan. Jenis layangan yang diperlombakan, yakni Tok Ancak (bahasa Madura). Layangan ini dibuat dengan ukuran jumbo. Tinggi layangan mencapai 3 meter dan lebarnya 2,5 meter. Untuk menerbangkan layangan ini dibutuhkan angin kencang dan tali yang kuat.
"Sekali terbang, orang yang melayangkan bisa dibawa terbang jika tidak dibantu orang lain," ungkap Rasidi.
Kriteria penilaian dalam lomba ini adalah peserta akan mendapatkan nilai terbaik jika layangannya mampu "berjoget" di udara mengikuti irama musik.
"Kalau goyangannya di udara membentur layangan lainnya karena tidak seirama, maka dinyatakan kalah," ungkap Rasidi.
Di bagian ujung layangan, ditambahkan aksesoris sawangan yang bisa menghasilkan bunyi saat diterpa angin. Suara yang dihasilkan sawangan itu mirip bunyi pesawat terbang yang menggelegar sampai ke telinga penonton.
Dijelaskan Rasidi, lomba layangan itu digelar sebagai ajang silaturahim antar-warga. Selama lima tahun terakhir, baru warga tiga kecamatan yang aktif ikut lomba layangan. Namun setiap tahun, pesertanya terus bertambah.
"Kalau sudah berkumpul semua pesertanya, terjalin keakraban dan persaudaraan antar-pecinta layangan besar," ungkapnya.
Sementara itu, Subaidi, salah satu peserta lomba layangan mengaku, meski hadiahnya hanya seekor kambing, namun yang terpenting adalah kegembiraan saat berhasil menerbangkan layangannya dengan baik.
"Puas rasanya meskipun tidak harus jadi juara asalkan layangan saya terangnya bagus," ungkap mantan TKI di Arab Saudi ini.
Untuk menambah semarak lomba, masing-masing pemilik layangan membawa grup musik saronen. Musik akan dimainkan ketika layangan sudah diterbangkan hingga diturunkan saat penilaian usai.