"Faktor ini lebih kuat dibandingkan tekanan yang berasal dari diri sendiri," kata Andik yang juga Wakil Rektor 1 Untag Surabaya saat dihubungi, Rabu malam (22/10/2014) kemarin.
Dia mengungkapkan hal itu terkait dengan kasus pembunuhan berantai yang terjadi di Jombang. Andik menduga perilaku agresif yang dilakukan pelaku dipicu karena akumulasi dari kekecewaan yang berulangkali. Kadar kemampuan untuk menghadapi persoalan lemah sehingga cepat emosi.
"Tidak mungkin hanya sekali dikecewakan dia sudah tega membunuh," kata alumnus Psikologi UGM Yogyakarta itu.
Andik mencuplik teori frustasi agresif yang menyebutkan bahwa orang yang berkali-kali mendapat masalah dan tidak mempunyai kemampuan melawan, pasti akan mengalami frustasi dan pada akhirnya memilih jalan kekerasan untuk menyelesaikannya.
Kondisi ini diperparah jika perlakuan atau penghinaan itu dilakukan di depan orang lain. Dan dia tidak bisa melawan karena status sosialnya lebih rendah atau memang kondisinya tidak memungkinkan. "Artinya ini bisa terjadi pada siapapun. Terutama ketika ikatan emosional di antara mereka sangat lemah," kata pria asli Bojonegoro.
Andik tidak melihat pelaku mengalami gangguan kejiwaan. Sebab pada umumnya orang yang mengalami gangguan kejiwaan melakukan kekerasan secara spontan, tanpa direncanakan.
"Kalau sudah ada perencanaan itu pasti normal. Dan itu disebabkan karena tekanan yang dirasakan berulang-ulang dan kontrol emosinya tidak bagus sehingga menyimpan dendam," terangnya.
Kondisi pelaku yang terlihat menyesali perbuatannya juga malah menguatkan bahwa tidak ada gangguan kejiwaan yang dialami pelaku. "Itu adalah pelampiasannya. Jadi ketika itu sudah dilakukan ya dia akan merasa puas. Bukan berarti dia mengalami gangguan kejiwaan," tegas dia.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.