Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Berjuang di Perbatasan demi NKRI meski Jadi "Anak Tiri"

Kompas.com - 21/10/2014, 09:47 WIB
Kontributor Samarinda, Hyuna Azamta Asyifa

Penulis

MAHAKAM ULU, KOMPAS.com — Derita masyarakat di kawasan perbatasan Kecamatan Long Apari tidak pernah usai. Sejak Indonesia merdeka hingga hari ini, masyarakat yang berbatasan langsung dengan Serawak, Malaysia, itu masih tetap berjuang.

Puluhan tahun mereka hidup dengan kondisi daerah yang gelap gulita. Meski sebagian warga sudah memiliki genset untuk alat penerangan, alat tersebut tetap tidak bisa dihidupkan semalaman lantaran harga bensin mencapai Rp 30.000 per liter.

"Tidak ada PLN masuk sampai sini karena kami jauh dan banyak bukit. Kami punya genset, tapi tidak semua. Kalau genset saya, hanya hidup enam jam tiap malam karena bensinnya tekor," kata Kepala Adat Besar Kecamatan Long Apari, Yahones Ibo.

Menurut dia, masalah PLN tidak masuk ke daerah tersebut masih wajar. Namun, masalah komunikasi dan tidak adanya akses jalan menuju ke Long Apari yang memberatkan. "Kalau PLN masih tidak apa-apa, tapi masalah komunikasi. Kami dijanji-janji pemerintah akan dibuatkan jaringan telekomunikasi. Tapi, sampai sekarang tidak ada kabarnya," ungkap dia.

Kekesalan itulah yang membuat warga Long Apari berpikir pindah ke Malaysia. Selain tidak diperhatikan, Kecamatan Long Apari juga "dianaktirikan". "Ya mungkin seperti anak tiri, kami sudah sabar," ujar dia.

Yohanes menjelaskan, pada zaman dahulu, nenek moyang suku Dayak Bahau memperjuangkan dan menjaga tanah NKRI. Kali ini pun, masyarakat di Kecamatan Long Apari tetap setia menjaga kehormatan negara.

"Nenek moyang kami yang mempertahankan tanah ini karena kata mereka kehormatan bangsa adalah dengan berperang menjaga tanah ini. Maka, sah-sah saja kalau sekarang masyarakat marah karena dianaktirikan," sebut dia.

Selama ini, kata dia, pemerintah tidak melihat pengorbanan mereka. Bahkan, hingga saat ini Gubernur Kaltim Awang Faroek tidak pernah menginjakkan kaki di Kecamatan Long Apari. "Gubernur tidak pernah datang kemari. Gubernur tidak tahu biaya kami sekali turun ke kota, menghabiskan uang Rp 5 juta sekali jalan," kata dia.

Baca: Tidak Diperhatikan Pemerintah, 10 Desa di Kaltim Akan Bergabung dengan Malaysia

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com