Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Sabdo Palon, Naya Genggong, dan Danyang

Kompas.com - 16/10/2014, 06:58 WIB
Jodhi Yudono

Penulis

Acara seni kejadian atau happening art bertajuk “Bagus Kodok Ibnu Sukodok Daup Peri Roro Setyowati” karya Bramantyo Prijosusilo yang digelar 8 Oktober 2014 memang sudah berlalu. Tapi pembicaraan tentangnya masih ramai di media sosial. Makkumlah, sebagai sebuah gagasan, karya Bram itu memang cukup mengejutkan. Di saat orang sibuk dengan politik, di saat sebagian orang bicara tentang materialistik, Bram justru menggelar acara yang mengajak orang untuk kembali ke rumah, ke akar budaya kita yang menempatkan budi pekerti sebagai panglima.

Perkawinan Bagus Kodok Ibnu Sukodok dengan Peri Setyowati yang notabene adalah makhluk tak kasat mata tentu peristiwa yang tak masuk nalar, melengkapi "kegilaan" karya-karya Bram sebelumnya, seperti yang pernah digelarnya yang berjudul "Membanting Macan Kerah" yang digelar awal 2012 silam sebagai protes terhadap organisasi keagamaan yang oleh Bram disebut "Kelompok Salah Paham".

Apa yang dilakukan Bram adalah semacam tanggungjawab dirinya sebagai seniman untuk membuat karya yang membangun peradaban berdasarkan budi sebagai upaya untuk menyambut datangnya Sabda Palon dan Naya Genggong (dua penasihat spiritual Prabu Brawijaya V yang memerintah ada era 1400-an masehi -red) yang moksa pada saat runtuhnya Kerajaan Majapahit, dengan janji kembali mengejawantah bilamana orang kembali beragama “budi”.

Kembalinya “agama budi” disaksikan kaum Jawa di sekitar 1945, ketika seluruh Nusantara dengan ikhlas memberi untuk kemerdekaan. Namun dalam perkembangannya Sabda Palon dan Naya Genggong urung hadir karena krisis-krisis sosial dan politik yang kita alami kita selesaikan dengan cara yang berdarah.

Apalagi di tahun 1965, banjir darah besar dalam sejarah umat manusia. Maka kemenangan apapun, tidak akan mampu membangun peradaban berdasar budi karena tak ada peradaban berdasarkan budi ditegakkan di atas telaga darah.

Itu juga terjadi pada Era Reformasi. Tapi sejak Indonesia diguncang tsunami, gempa, gunung meletus, peristiwa tersebut telah membuka kedok pejabat bebal dan mengerahkan maksud baik relawan, bahkan ketika Orde Baru mengancam mencaplok bangsa ini kembali, relawan digalang kekuatan suci untuk bergerak. Ini adalah bukti bahwa Sabda Palon dan Naya Genggong telah datang kembali.

Maka ketika Jokowi punya program Revolusi Mental dan terjadi krisis politik yang berpotensi makin meruncing, ini adalah janji : Bila Jokowi bisa memenangkan krisis politik ini tanpa berdarah maka Sabda Palon dan Naya Genggong akan hadir.

Sungai-sungai akan bersih, jernih, banyak ikannya. Pohon-pohon akan hijau, subur, banyak buah dan burung-burungnya, hutan-hutan akan teduh, aman, nyaman, Bengawan Solo, Citarum, Ciliwung, Brantas dan sungai-sungai lain kembali jadi nadi transportasi, sekolah nggak lagi tawuran, orang bahagia, trotoar mudah dilalui anak kecil maupun orang jompo … ya Ratu Adil akan tiba, tapi ada syaratnya. Itu pesan mistis sesungguhnya yang hendak disampaikan oleh Bram.

Pesan kedua adalah, bahwa peristiwa ini merupakan tonggak sejarah hubungan manusia dengan danyang bernama Peri Setyowati. Seni kejadian ini mengembalikan hubungan keduanya ke posisi sehat, yakni bekerjasama untuk bagusnya ekologi, sosial dan budaya setempat.

Pengertian danyang sendiri dalam budaya Jawa adalah roh halus tertinggi yang tinggal di pohon, gunung, sumber mata air, desa, mata angin, atau bukit. Danyang dipercaya (oleh masyarakat Jawa khususnya) menetap pada suatu tempat yang disebut punden. Para danyang diyakini menerima permohonan orang yang meminta pertolongan. Imbalan yang mesti diberikan kepada danyang adalah slametan. Danyang merupakan (roh halus) yang tidak mengganggu ataupun menyakiti, melainkan melindungi. Danyang sebenarnya roh para tokoh pendahulu atau leluhur sebuah desa yang sudah meninggal. Para leluhur ini adalah pendiri sebuah desa atau orang pertama yang membuka lahan suatu desa.

Danyang desa, ketika masih hidup sebagai manusia, datang ke sebuah daerah yang masih berupa hutan belantara, lalu membersihkan daerah itu untuk kemudian mendirikan sebuah desa. Danyang tersebut kemudian yang berperan menjadi lurah atau pemimpin desa tersebut. Dia berhak untuk membagikan tanah kepada pengikut atau keluarganya. Ketika meninggal, danyang biasanya dimakamkan di dekat pusat desa yang kemudian menjadi punden. Maka punden menjadi tempat yang cukup dihormati di sebuah desa. Danyang akan selalu memperhatikan kesejahteraan desanya dan melindunginya walaupun ia sudah mati. Akan tetapi, tidak semua desa mempunyai makam khusus untuk para Danyangnya.

Roh para danyang masih diyakini secara magis mengawasi dan menentukan siapa yang akan menjadi kepala desa. Roh danyang akan menjelma menjadi pulung. Beberapa orang bisa melihat pulung itu turun kepada calon yang terpilih pada malam sebelum pemilihan. Pulung berbentuk seperti bulan yang bersinar dan bergerak menuju rumah calon kepala desa yang dikehendaki danyang. Hanya ada satu pulung untuk setiap desa, maka ketika seorang kepala desa meninggal atau mundur, pulung akan meninggalkannya dan mencari lurah baru. Para calon kepada desa biasanya melakukan banyak cara untuk menarik pulung itu, salah satunya dengan slametan.

Tak dapat dimungkiri, animisme memang menjadi dasar kepercayaan yang tumbuh dalam masyarakat jawa. Kepercayaan ini meliputi keyakinan tentang keberadaan makhluk halus dan roh leluhur yang mendiami tempat-tempat tertentu. Walaupun orang Jawa telah melewati beberapa periode perkembangan keagaaman, Animisme masih hidup dalam kepercayaan orang Jawa sampai sekarang. Animisme Jawa yang mempercayai keberadaan roh-roh di tempat-tempat tertentu mengelompokkan makhluk halus menjadi tiga jenis, yaitu: Danyang, lelembut, dan roh leluhur atau yang sudah meninggal.

Upacara adat Jawa yang berupa ritual untuk menghormati Danyang sebagai pelindung desa diadakan pada bulan Sura dan Ruwah. Tujuan upacara ini adalah membangun hubungan dengan dunia roh, terutama roh Danyang desa. Upacara-upacara pada bulan sura ini disebut Suran. Selanjutnya pada bulan Ruwah (sering disebut masa sadranan) orang-orang desa akan membersihkan makam para leluhur dan memberi sesaji. Sadranan mengharuskan keluarga-keluarga untuk mengunjungi makam leluhur mereka. Akan tetapi, yang utama adalah memberi sesaji kepada Danyang sebagai pelindung desa atau juga makam tokoh-tokoh legendaris yang dianggap sakti.

Untuk bulan Sura sesaji berupa bubur dicampuri biji kecipir, jagung, kacang kara, biji asam, kemangi, kacang hijau, merica putih dan isi delima, dilengkapi dengan kembang konyoh, dupa, kemenyan, madu dan beberapa uang. Sementara untuk bulan Ruwah sesaji berupa nasi pulen dengan daging goreng, pindang ayam, dilengkapi kembang konyoh, dupa, kemenyan, madu, dan uang semampunya. (bersambung)

@JodhiY

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com