Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Petani Terpaksa Beli Air Rp 250.000 per Mobil untuk Menyiram Sayuran

Kompas.com - 12/10/2014, 22:03 WIB
Kontributor Polewali, Junaedi

Penulis


PINRANG, KOMPAS.com - Para petani sayur-mayur di Pinrang, Sulawesi Selatan, harus berjuang menyelamatkan tanaman mereka yang terancam mati kekeringan. Setiap hari mereka harus mengeluarkan uang ratusan ribu rupiah untuk membeli air dari mobil keliling.

Musim kemarau telah menyebabkan lahan petani di sana kekurangan air selama tiga bulan terakhir. Saat air berlimpah, mereka biasa menyirami tanaman pada pagi dan sore hari. Namun, dengan air yang mereka beli, tanaman hanya disirami saban pagi.

Sulaeman, petani di Desa Malimpung, berjuang menyelamatkan tanaman cabai dan tomat yang tinggal bebeerpa hari lagi berbuah agar selamat dari bencana kekeringan. Setiap hari ia harus menyediakan Rp 250.000 per tangki mobil untuk mengairi lahan seluas 1 hektar. Itu pun masih kurang karena ia memiliki lahan hingga 2 hektar.

"Biayanya besar. Bayangkan, 10 hari saja, biayanya sudah Rp 2,5 jut. Itu pun belum semua bisa disiram secara merata. Karena biaya terbatas, tanaman saya disiram secara bergilir," ujar Sulaeman kepada Kompas.com, Minggu (12/10/2014).

Sulaeman kini merasa was-was tanamannya bakal mati total jika hujan tak segera turun dalam waktu sepekan. Kekhawatiran itu terus membayanginya setelah petani lain kehilangan tanaman akibat mati kekeringan.

Kondisi ini membuat biaya operasional petani membengkak. Para petani umumnya telah menginvestasikan jutaan rupiah untuk biaya operasional, seperti biaya pengolahan lahan, bibit, dan pestisida. Itu belum termasuk biaya tambahan untuk membeli air dari mobil tangki.

Pariaman, misalnya, telah merasakan kepahitan menghadapi musim kering. Ia juga membeli air seharga Rp 250.000 per tangki mobil untuk mengairi lahan seluas 2 hektar. Namun, tanaman cabai, tomat, dan pare yang dibudidayakannya tak sanggup menghadapi ganasnya musim panas.

Pariaman mengaku telah menginvestasikan Rp 12 juta per hektar untuk tanamannya. Pada musim tanam lalu, ia berhasil memetik keuntungan hingga Rp 200 juta, tetapi kali ini puso. Tanaman palawija yang sudah hampir berbuah itu mati dan tinggal menyisakan tanaman kering.

"Saya bingung, utang sudah menumpuk di bank, hasil panennya malah mengecewakan," ujarnya.

Jumlah mobil tangki yang terbatas dan sedikitnya sumber air di sekitar lokasi menjadi penyebab sulitnya memperoleh air untuk mengairi lahan. Kini para petani hanya bisa menunggu datangnya hujan.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com