Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Stigma 'Dusta' Penyakit Kusta...

Kompas.com - 23/09/2014, 14:50 WIB
Achmad Faizal,
Glori K. Wadrianto

Tim Redaksi

KEDIRI, KOMPAS.com - Purwanto melatih otot jari-jarinya yang kaku dengan gagang pintu yang dipasang di sebuah potongan kayu. Dengan gagang pintu itu, lelaki 36 tahun itu juga melatih sensitivitas saraf tepi di tangannya yang sudah dua tahun terakhir mati rasa.

Melatih otot dan sensitivitas saraf tangan adalah aktivitas sehari-hari bapak satu anak ini setahun terakhir sejak menjadi pasien penyakit kusta di Rumah Sakit Kusta Kota Kediri, Jawa Timur.

Purwanto mengaku yakin akan sembuh dari penyakit yang menyiksanya secara fisik dan mental itu.  Dia juga akan membuktikan, kusta bukanlah penyakit turunan atau bahkan penyakit kutukan.

"Penyakit saya ini bisa disembuhkan secara medis, bukan penyakit kutukan seperti apa yang dibilang orang-orang di kampung saya. Itu semua dusta belaka," kata Purwanto, akhir pekan lalu.

Warga Desa Gondang, Kecamatan Gondang, Kabupaten Ponorogo, Jawa Timur itu mengaku menjadi korban stigma negatif masyarakat tentang kusta. Dia merasa diasingkan oleh tetangga dan keluarga besarnya karena dia dianggap mengidap penyakit kutukan. "Anak saya yang tidak tahu apa-apa juga jadi korban, dia dijauhi oleh teman-teman bermainnya," ujar Purwanto.

Sikap orang-orang di sekitarnya membuat Purwanto mengalami tekanan batin dan merasa drop. Akhir Juni tahun lalu, dia pun memilih berobat ke RS Kusta Kediri. Untungnya dia masih memiliki isteri yang masih setia menemaninya berobat inap sampai saat ini.

Cerita Purwanto ini jauh lebih baik dibanding nasib yang menimpa Fiki Hendra (48). Kaki kiri warga Kecamatan Peterongan, Jombang, Jawa Timur itu harus diamputasi, dan diganti dengan kaki palsu. Fiki pun menjadi cacat seumur hidup, karena penanganan penyakit yang terbilang lambat.

Namun ayah tiga orang anak itu mengaku tidak mengalami tekanan batin. Sebab orang-orang di sekitarnya tidak pernah mengucilkan keberadaannya. "Mereka semua mengerti dengan penyakit saya ini, kalau ada yang berani menghina, saya akan pukul dia," tegas Fiki.

Fiki yang baru sebulan menjadi pasien RS Kusta Kediri, saat ini hanya menunggu pengerjaan kaki palsunya. Setelah itu, dia akan berupaya bangkit dan bekerja apapun untuk menghidupi rumah tangganya.

Stigma negatif masyarakat tentang penyakit kusta, diakui Kepala Rumah Sakit Kusta Kediri, Nur Siti Maimunah. Kebanyakan penderita penyakit kusta dikucilkan dari kehidupan sosial karena mereka takut penyakit tersebut menular.

"Masih banyak yang menganggap, penyakit kusta adalah kutukan turun temurun dari keluarga," kata dia.

Atas alasan itu, RS Kusta Kediri kerap menurunkan petugas untuk mengevakuasi penderita kusta dari lingkungan sosialnya ke rumah sakit. Sebab, warga sekitar bahkan keluarganya tidak berkenan mendekat apalagi merawatnya. Pun juga dengan pasien yang dirawat, kadang mereka tidak mengaku kepada tetangga sekitarnya jika dia sedang dirawat di rumah sakit Kusta. "Mereka kadang beralasan kerja ke luar kota, padahal sedang dirawat di sini," terang Nur Siti.

Derita pasien kusta bahkan berlanjut saat dia dinyatakan sembuh. Lingkungan sosial masih kerap belum menerimanya 100 persen, karena itu mantan penderita kusta di kebanyakan tempat masih menjauh dari lingkungan sosialnya. Mereka justru akrab dengan kelompok sesama penderita kusta yang dihimpun Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang bergerak khusus menangani mantan penderita Kusta.

"Jangankan diterima di lingkungan sosial, produk kerajinan tangan mantan penderita Kusta saja saat ini masih sulit diterima masyarakat," ujar dia.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com