Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Oase Kejujuran di Tengah Kekeringan...

Kompas.com - 19/09/2014, 04:19 WIB

KOMPAS.com - Seribu rupiah memang tidak banyak. Namun, bagi warga Desa Babalan, Kecamatan Gabus, Kabupaten Pati, Jawa Tengah, Rp 1.000 sangat berarti. Dari uang kertas bergambar Kapitan Pattimura dan uang receh bergambar angklung itu mereka bisa membeli air setiap musim kemarau dan belajar kejujuran.

Seribu rupiah itu terkait erat dengan tandon air yang berada di desa yang kerap dilanda banjir dan kekeringan tersebut. Wadah air berkapasitas 5.000 liter itu bukan merupakan tandon biasa, melainkan tandon air kejujuran.

Kisah tandon air kejujuran di desa yang terletak di Pati bagian selatan itu bermula pada 2010. Waktu itu, sebanyak 60 keluarga di RT 004 RW 005 belum memiliki bak penampungan air bersih. Setiap kemarau, air permukaan dan air sumur di desa yang berjarak sekitar 2 kilometer dari Sungai Juwana itu tidak bisa digunakan untuk memasak dan minum karena payau atau asin.

Hal itu terjadi karena desa itu dahulu merupakan daerah rawa-rawa yang menjadi bagian dari Selat Muria. Sungai Juwana yang dahulu disebut pula dengan Bengawan Juwana itu setiap kemarau airnya selalu bercampur dengan air lautatau mengalami intrusi air laut. Desa itu berada sekitar 25 kilometer dari muara ke arah hulu Sungai Juwana.

Lantaran kesulitan mendapatkan air bersih, warga mencukupi kebutuhan air bersih dengan cara membeli air dengan truk tangki dari Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) Kabupaten Pati. Tak jarang pula mereka membeli air isi ulang.

”Kalau membeli air dari PDAM biaya yang dikeluarkan Rp 90.000-Rp 100.000 per tangki. Kalau membeli air isi ulang Rp 4.000-Rp 15.000 per galon,” kata Sumardi (45), warga Desa Babalan.

Sumardi mengatakan, kalaupun membuat sumur bor dengan biaya Rp 3 juta, hal itu pun percuma. Pasalnya, air sumur itu hanya bisa digunakan untuk mandi dan mencuci.

Untuk itulah warga berupaya membangun tandon air berupa bak permanen dengan modal
Rp 400.000. Pada musim hujan, tandon air itu untuk menampung air hujan dan pada musim kemarau untuk menampung air yang dibeli menggunakan truk tangki dari PDAM ataupun air bantuan dari pemerintah daerah serta Badan Koordinasi Wilayah I Pati.

Setiap musim kemarau, warga mengambil air di tandon tersebut seharga Rp 1.000 per galon, per jeriken, atau tiga ember. Uang yang terkumpul digunakan lagi untuk membeli air guna mengisi tandon tersebut.

Lantaran tidak mungkin menunggui tandon air dan melayani pembeli air setiap hari, akhirnya warga sepakat meletakkan kotak uang di samping tandon air itu. ”Jadi cukup praktis. Setelah mengambil air, pembeli tinggal memasukkan uang ke dalam kotak,” kata Sri Ayumi (37) yang ditunjuk warga sebagai pengelola tandon air.

Menurut Sri Ayumi, sebagai bentuk kontrol pembelian air secara mandiri itu, warga sepakat menyebut tandon tersebut sebagai tandon air kejujuran. Artinya, setiap warga yang mengambil air diharapkan jujur mau membayarnya.

Dalam pelaksanaannya ada juga warga yang enggan membayar air sehingga pada awalnya, uang yang masuk hanya pas untuk modal membeli air satu tangki. Seiring berjalannya waktu, warga mulai sadar untuk membayar ketika mengambil air di tandon sehingga uang yang terkumpul melebihi modal untuk membeli air.

”Setiap setahun sekali, keuntungannya kami masukkan ke kas RT dan kas kelompok Pembinaan Kesejahteraan Keluarga,” kata Sri Ayumi yang juga tokoh penggerak PKK Desa Babalan.

Bagi Marsudi, seorang warga, memasukkan Rp 1.000 ke dalam kotak itu sangat berarti karena merupakan salah satu pertanggungjawaban kepada Allah dan sesama. ”Masa mau minum air yang dibeli dengan cara tidak halal. Padahal, air dalam tandon itu dibeli dari hasil kerja keras warga meski itu hanya Rp 1.000,” ujar Marsudi.

Manajer Lapangan Yayasan SHEEP Indonesia Wilayah Pati Evi Novita Setyaningrum mengatakan, tandon air kejujuran di Desa Babalan menjadi wahana belajar bagi warga dan juga anak-anak untuk menghargai kejujuran, apalagi di tengah kasus korupsi, pencucian uang, dan penggelapan uang yang marak di Indonesia.

Tandon air kejujuran memang tidak melibatkan nilai uang yang besar, tetapi hanya seribu-dua ribu rupiah. Namun, dengan nilai uang yang tidak seberapa itu, masyarakat bisa memahami bahwa yang kecil itu tetap punya makna.

”Dengan nilai uang yang kecil itu, kebutuhan masyarakat mampu terpenuhi. Dengan nilai uang yang kecil itu akan membawa dampak terhadap masyarakat. Ketika warga tidak membayarkan seribu rupiah atas air yang mereka ambil, pengelola tidak akan bisa membeli air kembali untuk memenuhi kebutuhan warga ke depannya. Hal itu berarti mereka akan kesulitan memenuhi kebutuhan air minum,” kata Evi.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Sumber KOMPAS
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com