Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

"Kampung Tenggok" Masih Bertahan di Era "Serba Plastik"

Kompas.com - 17/09/2014, 12:49 WIB
Kontributor Magelang, Ika Fitriana

Penulis

MAGELANG, KOMPAS.com – Bagi masyarakat perkotaan, tenggok barangkali adalah benda asing. Tenggok merupakan wadah mirip keranjang yang terbuat dari anyaman bambu. Di pedesaan khususnya di Jawa Tengah tenggok masih sering dipakai warga untuk keperluan sehari-hari.

Bahkan, ada sebuah kampung yang mayoritas penduduknya membuat tenggok ini. Kampung itu adalah Dusun Maliyan, Desa Kalinegoro, Kecamatan Mertoyudan, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah.

Sebagian besar perekonomian warga dusun ini bertumpu pada produksi dan penjualan tenggok. Jangan dibayangkan di kampung yang terletak di tujuh kilometer dari Candi Borobudur ini terdapat pabrik yang mampu memproduksi tenggok secara massal. Sebab, ternyata warga membuat sendiri mulai dari membelah bambu menjadi tipis dengan ukuran tertentu kemudian merangkainya menjadi sebuah anyaman yang berbentuk mirip keranjang atau ember.

Bagi orang awam, tentu tidak mudah, karena butuh keterampilan khusus, ketelatenan, kesabaran dan sense of art hingga bisa membuat sebuah tenggok dan mempunyai daya jual. “Sejak kecil saya sudah bisa membuat tenggok. Saya belajar dari orang tua saya dahulu, hampir semua keluarga, suami, anak dan mertua saya bisa membuat tenggok ini,” ucap Marsilah (60), warga setempat.

Marsilah mengatakan, setiap hari ia mampu menghasilkan 2–3 buah tenggok dengan ukuran bervariasi. Kecil, sedang, dan besar. Tenggok-tenggok itu lantas ia jual ke pasar terdekat atau terkadang ada pengepul yang datang ke rumah membeli tenggok-tenggoknya. Harganya bervairiasi, mulai Rp.5.000 – Rp 10.000 per buah, tergantung ukurang tenggok.

“Hasilnya memang tidak banyak tetapi bersyukur, karena setidaknya bisa untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, bikinnya juga bisa sambil mengerjakan pekerjaan rumah tangga lainnya di rumah,” ujar nenek dua cicit ini.

Sementara itu, Nurido, Kepala Dusun Maliyan menambahkan, dari 127 kepala keluarga (KK), 40 KK di antaranya bermata pencarian membuat tenggok. Selebihnya ada yang menjadi pekerja bangunan, petani dan pegawai swasta.

Di dusun sekitarnya, seperti Dusun Kaligintung, Dukuh, Jati dan Bromo, juga masih banyak warga yang membuat tenggok. “Kami sendiri tidak tahu siapa yang memulai dan sejak kapan kampung ini menjadi kampung tenggok. Keterampilan ini diwariskan secara turun temurun oleh leluhur kami dahulu,” kata Nurido.

Menurut Nurido, hingga saat ini memang masih ada masyarakat yang memanfaatkan wadah tradisional ini untuk kebutuhan sehari-hari, seperti untuk wadah hasil panen padi, beras dan sebagainya. Namun tentu tidak sebanyak dahulu, ketika belum sebanyak bahan-bahan plastik atau alumunium merebak di pasaran.

“Kalau sekarang orang suka pakai wadah plastik. Lalu anak-anak muda sekarang juga sudah enggan belajar menganyam tenggok, mereka lebih suka bermain atau bekerja di di kantor,” ucap Nurido.

Dengan kondisi demikian, Nurido lalu meminta kepada pemerintah daerah setempat untuk lebih memperhatikannya. Sebab selama ini belum ada pihak mana pun yang memberi perhatian, setidaknya melalui pelatihan-pelatihan khusus seperti kewirausahaan dan bantuan pemasaran.

Dikatakan Nurido, persaingan dunia usaha sekarang semakin ketat, banyak produk serupa yang lebih bervariasi dan mempunyai nilai jual lebih tinggi. Jika tidak diperhatikan kondisi ini bukan tidak mungkin kampong tenggok hanya tinggal nama.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com