Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Florence dan Roh Keistimewaan Yogyakarta

Kompas.com - 01/09/2014, 21:37 WIB
Oleh:

KOMPAS.com - Sungguh sangat mengejutkan tindakan dan sikap sebagian warga Yogyakarta terhadap Florence Saulina Sihombing. Polda Daerah Istimewa Yogyakarta menahan pemilik akun Path yang dinilai membuat ucapan kontroversial, Sabtu (30/8).

Bermula dari kebijakan Pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono yang tidak mau menaikkan harga bahan bakar minyak (BBM), maka Pertamina melakukan pembatasan suplai BBM bersubsidi. Akibatnya, banyak pengguna kendaraan bermotor di sejumlah provinsi menjadi kesulitan, terjadi antrean panjang di stasiun pengisian bahan bakar untuk umum, termasuk di Yogyakarta.

Semua orang kesal harus antre berjam-jam hanya untuk mendapatkan tiga atau empat liter premium. Florence Sihombing, Rabu pekan lalu, di Yogyakarta, tak ingin membeli premium bersubsidi untuk motornya. Ia hendak mengisi motornya dengan pertamax 95, dengan menyerobot antrean panjang pengendara mobil. Akan tetapi, ia tetap tidak diperbolehkan mengisi BBM di sana. Ia lantas menumpahkan kekesalannya melalui akun Path.

Antara lain di Path ia menulis, ”Gimana Indonesia bisa maju? Mau aja lo semua diperbudak keadaan. Tolol sampai 7 generasi. Dan mau-maunya Jogja diperbudak monopoli Pertamina. Pantesan miskin”.

Komentar ini lantas tersebar di media sosial, masyarakat Yogyakarta tersinggung, bahkan juga komunitas akademik di Universitas Gadjah Mada. Karena mendapat reaksi yang meluas, Florence akhirnya minta maaf. Seharusnya, kalau sudah minta maaf, warga dan polisi Yogyakarta menghentikan permasalahan, tidak usah menahan Florence.

Memang, yang cukup melegakan tak semua warga Yogyakarta marah besar dan melakukan bullying. Paling tidak, masih ada seniman Butet Kartaredjasa yang risau dengan penahanan tersebut. Dalam Facebooknya, Butet berpendapat, penahanan Florence malah kontraproduktif, mencoreng citra kepolisian dan kearifan warga Yogyakarta.

Keramahan dan rasa persaudaraan warga yang menjadi roh penegak keistimewaan Yogyakarta sudah luntur. Ironis karena tepat dua tahun yang lalu, tanggal 31 Agustus 2012, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengesahkan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2012 tentang Keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta. Budaya Yogyakarta yang istimewa bukan hanya peninggalan keraton dan kesenian yang tangible ataupun intangible.

Lebih dari itu adalah sikap warga Yogyakarta yang penuh persaudaraan dan solidaritas, yang dipelopori Hamengku Buwono IX sejak awal kemerdekaan Indonesia, tahun 1945. Setelah menyatakan bergabung dengan Republik Indonesia, tahun 1946 HB IX merelakan Keraton Yogyakarta sebagai tempat belajar mahasiswa Universitas Gadjah Mada yang belum mempunyai gedung.

Sejak UGM berdiri, para pejuang dari berbagai suku bangsa, yang kemudian diikuti dengan anak dan saudara- saudaranya, berdatangan ke Yogyakarta guna memperdalam ilmu. Melihat kemurahan hati HB IX yang merelakan Keraton Yogyakarta sebagai tempat kuliah, warga Yogyakarta pun menyediakan rumah mereka sebagai kos-kosan. Tak jarang lantas terjadi persaudaraan antara induk semang dan mahasiswa.

Sekali lagi, kekesalan Florence dengan memaki Yogyakarta tak boleh diulangi, dan dia sudah minta maaf. Kiranya hal itu sudah cukup. UGM bersama dengan Sultan HB X serta masyarakat Yogyakarta sebaiknya merevitalisasi roh istimewa Yogyakarta dengan menyambut permintaan maaf Florence.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com