Dia menuju ke tepi sungai, tempat nesting ground (lokasi bertelur) yang berada dalam kawasan Taman Nasional Bogani Nani Wartabone (TNBNW). Di tepi sungai itu terdapat area berpasir yang secara rutin disinggahi burung maleo (Macrocephalon maleo) untuk meletakkan telurnya.
Walau hanya lulusan sekolah dasar, Tomo menguasai betul seluk-beluk dan tingkah laku burung yang terancam punah itu. Betapa tidak, dia sudah 13 tahun dipercaya Wildlife Conservation Society (WCS) menjadi penjaga maleo.
"Sejak tahun 2001, setiap hari saya harus memeriksa nesting ground. Jika ada telur, saya harus mencatat jumlahnya, memberi nomor, menimbang beratnya, dan mengukur besarnya," kata Tomo.
Telur-telur yang didapatnya dari lubang kemudian dipindahkannya ke hatchery, tempat khusus penetasan yang sengaja dibuat oleh WCS. Hatchery itu terletak sekitar satu kilometer dari nesting ground.
"Ini merupakan semacam kandang untuk melindungi telur maleo dari predator, termasuk dari kemungkinan pencurian manusia," kata Tomo.
Dengan cekatan, dia lalu menggali lubang yang ada di hatchery untuk meletakkan dua butir telur maleo yang siang itu didapatnya. Lubang-lubang itu sudah diberi nomor agar Tomo tahu mana lubang yang sudah ada telurnya dan mana yang masih kosong.
"Saya harus menggali dengan kedalaman yang tepat sebab telur maleo akan berhasil menetas pada suhu 34 sampai 35 derajat celsius," papar Tomo layaknya seorang ahli.
Menurut Tomo, telur yang didapatnya hari itu merupakan telur yang ke-5.135 dan ke-5.136 sejak dia dipercaya menjadi penjaga maleo.
Dulu, Tomo merupakan pemburu telur maleo, tetapi kini justru dialah yang setia menjaga agar maleo masih bisa bertahan di habitat aslinya.
Pekerjaannya saat ini mengharuskan dia, dua kali setiap hari, mengamati nesting ground, berkeliling di titik-titik tempat maleo bertelur. Di samping itu, dia juga harus mengamati hatchery, dan melepas anak maleo yang keluar dari lubang penetasan ke alam bebas. Semuanya dicatat Tomo tanpa terlewati.
Catatan harian Tomo merupakan referensi yang sangat berharga. Lewat catatan itulah dia mengetahui dengan persis kapan puncak masa maleo datang untuk bertelur. Tak heran, dia serta catatan hariannya dijadikan sebagai bahan utama penelitian para ahli yang datang di Muara Pusian.
"Dia sudah seperti pakar maleo. Dia mengetahui dengan persis tingkah laku burung itu. Informasinya sangat membantu. Saya salut dengan pengetahuannya," ujar Toar Pantouw, fotografer FORUM F/21 yang datang ke Muara Pusian.
Tinggal di tengah hutan
Iwan Honuwu, Project Manager WCS Maleo Project, mengatakan, jenis maleo yang ada di TNBNW merupakan endemik Sulawesi. Populasinya terancam karena dulu telurnya diambil untuk dijual. Ukuran yang raksasa membuat nilai jual sebutir telur maleo menjadi mahal.