Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Keakraban dari Bangsal Prabayaksa

Kompas.com - 30/07/2014, 23:13 WIB

KOMPAS.com - Pukul 09.10, Selasa (29/7), para pengunjung Keraton Kasepuhan Cirebon, Jawa Barat, dipersilakan memasuki Bangsal Prabayaksa. Di bangsal yang biasa digunakan untuk pertemuan penting itu, pengunjung dapat segera bersilaturahim dengan Sultan Sepuh XIV Cirebon PRA Arief Natadiningrat beserta keluarga keraton. Sebuah tradisi sederhana yang mampu melebur keragaman masyarakat Cirebon.

Begitu Sultan Sepuh dan Permaisuri Den Ayu Anom Isye Natadiningrat muncul di bangsal, pengunjung keraton langsung berdiri dan membentuk antrean untuk menyalami sang raja. Beberapa pengunjung tampak berdiri dan berbincang sejenak dengan Sultan sehingga antrean berhenti sebentar.

Seusai bersalaman, para tamu Sultan ini diarahkan ke sebuah ruang di sebelah Bangsal Prabayaksa. Di tempat itu, suguhan masakan khas Cirebon, docang, sudah siap untuk disantap. Docang berupa irisan lontong, daun singkong, taoge, oncom, dan kuah kental berwarna kemerahan. Selesai menyantap masakan beraroma gurih itu, artinya selesai pula sesi silaturahim dengan Sultan. Namun, pengunjung masih dapat menikmati setiap sudut keraton yang kaya akan nilai sejarah.

Berbeda dengan acara silaturahim Lebaran di rumah pejabat atau pimpinan negara, silaturahim di Keraton Kasepuhan terlihat jauh lebih santai. Sebagian besar tamu memakai baju batik atau baju koko. Akan tetapi, ada pula yang mengenakan kaus yang dipadu celana pendek dan sandal jepit. Semua orang diterima Sultan tanpa terkecuali.

Sudah selesai

Hampir semua kalangan, mulai dari pejabat, pengusaha, tokoh agama, petani, hingga warga dari berbagai latar belakang suku, menjadi satu di bangsal itu. ”Kalau dipetakan lagi, masyarakat yang terpolarisasi akibat pemilihan presiden juga datang dan bersatu lagi di sini. Perbedaan akibat pilpres sudah selesai di Cirebon,” kata Arief.

Menurut Arief, keterbukaan keraton terhadap masyarakat Cirebon yang majemuk, salah satunya melalui acara open house yang berlangsung setiap tahun saat hari Lebaran kedua ini, merupakan modal untuk memupuk keharmonisan di tengah masyarakat. Lebaran menjadi momen tepat memusatkan penguatan tali silaturahim antarwarga. Hasilnya, konflik horizontal antarkelompok pun jarang terjadi di Cirebon selama ini.

Arief mengatakan, masyarakat Cirebon sering kali datang mengadukan masalah yang dihadapi. Selain persoalan agama, sosial, dan politik, beberapa warga bahkan juga datang membawa persoalan pribadi, misalnya seseorang yang mengalami keretakan rumah tangga.

Selama Arief memiliki waktu, semua tamunya dapat ia temui. Apa pun keperluannya.

Tentu tidak semua masalah dapat diatasi oleh seorang sultan. Toh, Arief menganggap hal ini sebagai hal yang positif. Kemauan masyarakat untuk datang dan membahas sebuah benih permasalahan patut diapresiasi. Setelah memfasilitasi pertemuan, pihak keraton mengarahkan solusi melalui jalur yang ada.

Dipertahankan

Keterbukaan dan kedekatan Keraton Kasepuhan Cirebon dengan rakyatnya ini menjadi budaya yang coba dipertahankan oleh Paguyuban Tim Kerja Para Pengabdi (TKP2) Keraton Kasepuhan Cirebon. Paguyuban ini berupaya mereduplikasi simbol-simbol keakraban rakyat dan raja itu melalui sebuah kirab.

Sekitar 50 orang dari paguyuban itu menggelar Kirab Pedati Nyai Gedheng Tangkil. Mereka berjalan sejauh kira-kira 3 kilometer dari Desa Pasindangan, Kecamatan Gunung Jati, Cirebon, untuk ngunjung atau memberikan persembahan kepada Sultan Sepuh. Pakaian yang mereka kenakan berupa rompi dan celana kain tanggung serta ikat kepala seperti layaknya rakyat jelata pada masa kerajaan.

Mereka membawa bermacam hasil bumi, seperti beras, sayur, dan bermacam buah, untuk diserahkan kepada Sultan Sepuh. ”Bukti kesetiaan dan kepercayaan rakyat zaman dahulu adalah memberi upeti kepada raja,” kata Ketua Umum Paguyuban TKP2 Keraton Kasepuhan Sukesa.

Tidak sekadar mengulang sebuah perilaku ngunjung, tetapi proses di balik ngunjung itu dibentuk oleh keinginan masyarakat untuk bersatu. ”Paguyuban mempunyai 62 anggota, mulai dari pengusaha besar hingga masyarakat kecil, seperti nelayan dan petani,” kata Sukesa.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com