Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Heri, Si Tukang Ojek yang Jadi "Informan" Biopori

Kompas.com - 11/06/2014, 08:48 WIB
Kontributor Lampung, Eni Muslihah

Penulis

BANDAR LAMPUNG, KOMPAS.com - Setiap siang mangkal di persimpangan lampu merah, Perumahan Wisma Mas, Kecamatan Kemiling, Bandar Lampung, menunggu angkot yang berhenti menurunkan penumpang.

Sesekali dia mengejar angkot berhenti dengan motor, berharap ada penumpang yang mau menggunakan jasa ojeknya.

Siang itu, Heri Yulian tak mendapat penumpang. Lelah mengejar konsumen, bersama rekanannya yang sama tak beruntung mereka kembali nongkrong sambil bercengkerama, bercanda ria melupakan kejenuhan dan bayang-bayang tuntutan keluarga karena tak memenuhi target setoran.

"Ada saja yang kami bahas kalau sedang mangkal, kadang-kadang masalah keluarga, perkembangan isu koran, tapi tak lupa saya menyisipkan obrolan tentang biopori pada teman seprofesi saya," kata pria 43 tahun ini kepada Kompas.com pekan lalu.

Tak cuma dengan rekan seprofesinya saja ia membahas biopori, tapi dengan penumpang yang dibawanya pun, di perjalanan ia sempatkan mengobrol tentang penyelamatan air. Lubang resapan biopori adalah metode resapan air yang ditujukan untuk mengatasi genangan air dengan cara meningkatkan daya resap air pada tanah.

Tahun 2012 tempat tinggal Heri Yulian di Kelurahan Langkapura, Kecamatan Langkapura, Bandar Lampung, dijadikan salah satu proyek percontohan program resapan biopori.

Heri juga dipercaya warga RT 01, LK II Kelurahan Langkapura, sebagai ketua RT untuk mengelola setiap administrasi di lingkungannya yang berpenduduk sebanyak 147 keluarga. Ketika itu bersama RT-RT lainnya di kelurahan tersebut ia dikumpulkan dalam satu tempat, difasilitasi LSM lingkungan Mitra Bentala membahas tentang biopori.

Ia antusias mengikuti pelatihan itu dan tertarik untuk berpartisipasi penuh karena perkampungan yang ditinggali itu merupakan daerah cekungan, selalu menjadi korban tempat melintasnya air apabila hujan turun bahkan kerap menjadi tumpuan genangan air.

"Ada satu kalimat yang disampaikan pemateri dari Universitas Lampung (Unila) membuat saya tergugah, kondisi sekarang ini saja sudah mulai ditemukan air sulit didapat dan diprediksikan tahun 2020 Kota Bandarlampung akan dilanda krisis air, kalau kita tidak berbuat apa pun untuk menyelamatkan air," kata dia.

Hatinya terguncang. Pernyataan itu terus terngiang di benak pikirannya. Heri tak menyia-nyiakan jabatan sebagai ketua RT, selama program itu berjalan sejak, ia kerap menginstruksikan warganya membuat lubang resapan biopori.

"Setiap ada warga yang mau mengurus administrasi kelurahan seperti pembayaran Pajang Bumi dan Bangunan (PBB), surat akta kelahiran, atau mengurus surat-surat mau menikah, warga wajib melampirkan bukti sudah membuat lubang biopori minimal 5 lubang," kata dia.

Hasilnya, sejak awal program itu berjalan pada bulan Juni 2012 hingga saat ini terbuat resapan biopori sebanyak 2.200 lubang baik di rumah penduduk ataupun lahan terbuka seperti lapangan di sekitar lingkungannya.

Lubang biopori yang dibuatnya berukuran 1 meter dan diameter 10 centimeter. Masing-masing rumah memiliki minimal lima lubang biopori bertutup jaring dan berjarak satu meter antara satu lubang ke lubang lainnya.

Proses pembuatannya bisa langsung dibuat warga, yang mana alat dan tutupnya disediakan pihak kelurahan atau dapat memanfaatkan jasa kader Rumah Informasi Biopori (RIB) dengan membayar Rp 5.000 per lubang.

"Kami akan mengajari setiap warga yang ingin berproses membuat biopori. Kami sediakan dan pinjamkan alatnya atau kami menyediakan jasa pembuatan dengan membayar Rp 5.000 per lubang untuk warga yang sibuk bekerja," ujar Heri.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com