Penutupan lokalisasi pelacuran yang konon terbesar di Asia Tenggara itu dirasa terlalu dipaksakan. Ketua Komisi A DPRD Surabaya Tri Didik Adiono meminta agar Pemkot lebih mempertimbangkan dampak penutupan Dolly.
"Para PSK dan mucikari bisa saja membuka praktik di tempat lain. Tapi bagaimana dengan penduduk setempat yang banyak menggantungkan penghasilan dari aktivitas Dolly," kata Tri Didik, Selasa (6/5/2014).
Ketua Fraksi Partai Golkar DPRD Surabaya Blegur Prijanggono menambahkan, penutupan lokalisasi pelacuran akan memunculkan rumah hiburan ilegal sehingga penyebaran virus HIV/AIDS akan tidak terkontrol.
Sebab, para PSK yang sebelumnya beroperasi di Dolly akan berpraktik di panti pijat, rumah karaoke, salon, spa, dan tempat-tempat lainnya.
"Kami minta Pemkot untuk menyiapkan sarana dan prasarananya dulu sebelum ditutup. Sarana dan prasarana ini bagi warga yang menggantungkan pendapatan dari Dolly. Jangan ditutup begitu saja tanpa ada pemikiran dampak ke depannya seperti apa," ujarnya.
Sebelumnya, Risma mengaku tidak akan gentar atas semua jenis penolakan penutupan Dolly. Menurut dia, penutupan lokalisasi adalah upaya penegakan Perda Nomor 9 Tahun 1999 tentang Larangan Pemanfaatan Bangunan untuk Aktivitas Prostitusi.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.