Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Memprihatinkan, Fenomena Anak SMP Tak Perawan di Semarang

Kompas.com - 08/04/2014, 17:37 WIB
Kontributor Ungaran, Syahrul Munir

Penulis


SEMARANG, KOMPAS.com — Terungkapnya kasus dukun cabul yang mengaku bisa mengembalikan keperawanan di Kabupaten Semarang mengundang keprihatinan sejumlah pihak. Betapa tidak, lima orang korban dukun cabul tersebut adalah anak-anak belia yang berusia di bawah umur.

Para korban masing-masing berinisial RN (13), EL (14), PR (14), NY (14), dan RW (16). Mereka adalah siswi sebuah SMP ternama di Kota Ambarawa. Mereka mengaku sudah tidak perawan lagi sehingga dengan mudah teperdaya bujuk rayu dukun cabul yang mengaku bisa mengembalikan keperawanan mereka melalui ritual tertentu.

"Semua pihak tentu prihatin dengan kejadian ini. Baik guru, lingkungan, dan orangtua harus berpikir rasional. Sebab, masalah keperawanan ini penting, karena faktanya anak-anak pada usia labil di SMP ini banyak yang sudah melakukan hubungan seks," kata Zaenal Abidin, Ketua Bidang Kerjasama Antar Lembaga dari Lembaga Konsultasi Kesehatan Keluarga (LK3) Kabupaten Semarang, Selasa (8/4/2014) siang.

Berdasarkan pengamatan LK3 Kabupaten Semarang, fenomena anak SMP yang melepas keperawanannya tidak lagi menjadi dominasi anak-anak perkotaan. Fenomena ini sudah merambah ke wilayah pinggiran, dan kebanyakan anak-anak kurang mampu.

"Dari contoh kasus yang ada, biasanya karena kurangnya komunikasi terhadap anak. Karena orangtuanya sibuk, si anak diberi fasilitas dan uang yang cukup. Tetapi, fenomena ini sekarang merambah ke anak-anak dari keluarga yang tidak mampu, biasanya mereak diiming-imingi sesuatu," kata Zaenal yang dikenal sebagai pakar pendidikan ini.

Selain karena minimnya komunikasi dan perhatian orangtua, menurut Zaenal, pihaknya juga melihat faktor keteladanan dari para guru turut memengaruhi perilaku para siswa. LK3 Kabupaten Semarang mencatat angka yang cukup tinggi dari sebuah riset mengenai tingkat perceraian di Kabupaten Semarang yang didominasi oleh para PNS, terutama guru.

"Kalau korbannya anak usia sekolah, karena ada yang dilihat. Siapa? Guru, karena banyak guru selingkuh. LK3 mencatat dari 100 kasus perceraian di Kabupaten Semarang yang terbesar adalah guru," jelasnya.

Ia menjelaskan, tingginya angka perceraian pada guru PNS ini akibat dampak sertifikasi. Peningkatan pendapatan guru berbanding lurus dengan perubahan gaya hidup yang cenderung hedonis.

"Ini akibat dampak sertifikasi. Dulunya naik sepeda motor, sekarang naik mobil. Dulu cari hotel susah, sekarang di mana-mana dan kebetulan ada uang," katanya.

Langkah nyata yang harus segera ditempuh oleh pemerintah daerah, kata Zaenal, adalah mengawasi jam sekolah dengan menggelar operasi di tempat-tempat keramaian dan kawasan wisata.

Pemerintah harus memastikan pada jam-jam sekolah tidak ada siswa yang membolos sehingga meminimalisasi mereka bersinggungan dengan lingkungan sosial yang salah sehingga ujung-ujungnya adalah pergaulan bebas.

"Ini menjadi tanggung jawab pemerintah. Harusnya ada pengawasan jam sekolah. Pastikan di Kabupaten Semarang tidak ada murid membolos pada jam sekolah. Kalau bisa, itu dilakukan segera mungkin, karena kita punya banyak hotel dan banyak tempat wisata," pungkasnya.

Sementara itu, Kepada Dinas Pendidikan Kabupaten Semarang Dewi Pramuningsih meminta pihak sekolah lebih intensif lagi memberikan pembinaan kepada para siswanya, terutama menanamkan nilai-nilai religius sehingga para siswa tidak mudah terjerumus dalam pergaulan yang salah.

"Kami minta yang bersangkutan dihukum sesuai hukum yang berlaku. Dengan kasus ini, kami minta pihak sekolah lebih meningkatkan pembinaan, khususnya nilai-nilai religius, agar lebih ditingkatkan. Kepada orangtua juga diharapkan mampu memberikan perhatian yang lebih kepada putri-putrinya," kata Dewi.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com