Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Nenek Ini 11 Tahun Berjuang Melawan Mafia Tanah

Kompas.com - 17/03/2014, 18:04 WIB
Kontributor Ungaran, Syahrul Munir

Penulis


SEMARANG, KOMPAS.com
- "Sadumuk Bathuk-Sanyari Bumi", ungkapan bahasa Jawa yang amat gagah ini benar-benar menjadi pegangan Sumariyah (60), warga Kampung Sarowo, Kelurahan Kalirejo, Ungaran Timur, Kabupaten Semarang.

“Sadumuk bathuk” berarti kehormatan, kalau diinjak-injak kita pantas ngamuk. Sedangkan “sanyari bumi” maksudnya sejengkal tanah. Biarpun hanya sejengkal, kalau itu milik kita dan mau direbut orang lain harus dibela mati-matian.

Tanah bagi Sumariyah adalah kehormatan, maka selama 11 tahun ia masih berjuang mengembalikan pusaka keluarganya dari ulah mafia tanah kepada Kompas.com, Senin (17/3/2014).

Sumariyah mengungkapkan, tanah itu merupakan modal satu-satunya untuk menghidupi empat anaknya. “Kami itu orang kecil mas. Suami hanya seorang guru agama dan tidak meninggalkan apa-apa, sedangkan saya sekarang harus membesarkan empat anak,” kata Sumariyah, didampingi anak keduanya, Bahrudin Fahrada.

Sumariyah menceritakan, pada tahun 2003, ia dan anak-anaknya mendapat wasiat dari mendiang suaminya, Nasrudin, untuk mengurus hak milik lahan seluas 11.050 meter persegi yang ada di Desa Pringapus, Kecamatan Pringapus, Kabupaten Semarang.

Tanah itu dibeli Nasrudin dari Masyhur Ashadi Asnan, mantan Kepala Desa Pringapus pada tahun 1989. Namun, tanpa sepengetahuannya, tanah itu kini telah berganti kepemilikan dan di atasnya berdiri pabrik milik PT Cendrateks Indah Busana.

“Saat itu suami saya beli seharga Rp 11 juta. Ada bukti pembelian berupa kwitansi tertanggal 17 Januari 1989 dan permohonan balik nama kepemilikan tanah dari bapak yang dikuatkan Camat Klepu saat itu, M Sahli Suwidi, tertanggal 20 Januari 1989,” kata Sumariyah sembari menunjukkan dokumen pembelian tanah itu.

Namun sayang, hingga sang suami meninggal dunia pada 2003, permohonan ganti nama kepemilikan tanah tidak ditanggapi kantor Badan Pertanahan Nasional (BPN). Malah pada tahun itu, lahan yang masih atas nama pemilik awal dan terdaftar di Petuk D huruf C Desa nomor 941 persil nomor 8.a Kelas II/S, berdiri bangunan pabrik konveksi.

Usut punya usut, pabrik tersebut ternyata membeli dari Samsudin, rekan kerja Nasrudin yang tinggal di Bodean Rt 4 RW 11 Klepu, Pringapus seharga Rp 567.5 juta pada tahun 2001.

“Setahu kami, suami saya menyewakan tanah itu ke Samsudin dengan harga sekitar Rp 13 juta untuk 13 tahun. Jadi tanah itu tidak dijual. Tapi, anehnya tanah kami bisa terbit HM 370 atas nama Samsudin dan bisa muncul HGB Cendrateks. HGB berdasar SK Kepala Kanwil BPN Jateng No 0261-5502-0633-2003,” jelasnya.

Tempuh jalur hukum

Saryah menempuh jalur hukum atas tindakan Samsudin yang menjual tanah yang ia sewa dari suaminya itu. Ia melaporkan Samsudin ke polisi pada tahun 2005, dan Pengadilan Negeri (PN) Semarang menyatakan Samsudin terbukti melakukan pemalsuan surat bersama Muh Umar, Kades Pringapus pengganti Masyhur Ashadi Asnan. Keduanya divonis hukuman penjara lima bulan.

Sementara, kasasi perdata MA, pada 12 April 2011, memutuskan menolak permohonan yang diajukan Samsudin.

“Atas putusan hukum yang sudah inkrah ini, kami hanya ingin Kantor Pertanahan membatalkan HM No 370. Kini kami tinggal menunggu itikad baik dari pejabat di Pertanahan,” pinta Saryah.

Sementara itu, meski sudah ada titik terang secara hukum soal pemilik tanah, namun Kantor Pertanahan Kabupaten Semarang menyodorkan sejumlah syarat pembatalan HGB Cendratex yang mustahil dipenuhi keluarga Saryah.

Di antaranya adalah mengajukan berita acara eksekusi. Pasalnya, untuk bisa mendapat persyaratan tersebut, upaya eksekusi pengadilan harus ada landasan surat pembatalan dari kantor Pertanahan.

Saat wartawan mencoba mengkonfirmasi masalah ini, Kasi Sengketa Konflik dan Perkara Kantor Pertanahan Kabupaten Semarang Prayitno membantah pihaknya mempersulit Saryah dalam upaya mendapatkan hak kepemilikan tanahnya kembali.

“Sesuai petunjuk bapak Kakanwil, permohonan pembatalan sertifikat dan penerbitan sertifikat baru harus memenuhi setidaknya delapan persyaratan. Bukan bermaksud mempersulit, namun aturannya demikian,” kata Prayitno singkat.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com