Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Ditampar Saat Razia, Warga Suku Semende Berniat Melapor ke Polisi

Kompas.com - 25/12/2013, 07:46 WIB
Kontributor Bengkulu, Firmansyah

Penulis

BENGKULU, KOMPAS.com — Empat warga suku Marga Semende yang tinggal di Taman Nasional Bukit Barisan Selatan (TNBBS) di Kecamatan Nasal, Kabupaten Kaur, Bengkulu, ditangkap petugas. Status mereka pun sudah menjadi tersangka dengan tuduhan membuka hutan di kawasan TNBBS.

Namun, salah satu warga yang ditangkap berencana melaporkan petugas yang melakukan razia berujung penangkapannya. Warga itu, Suraji, mengaku ditampar petugas saat razia berlangsung.

Suraji ditangkap dalam razia bersama tiga tetangganya, yakni Hamidi, Heri, dan H Rahmat. Mereka ditetapkan sebagai tersangka dengan delik Pasal 92 Ayat 1 huruf a dan b UU Nomor 18 tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan. Ancaman hukumnya minimal tiga tahun maksimal 10 tahun.

Menurut Suraji dia ditampar pada pipi kiri, pipi kanan, dan kening oleh petugas balai TNBBS bernama Wawan. "Pertama di kening, pipi sebelah kanan, lalu didorong-dorong," kata Suraji saat dihubungi via telepon, Selasa (24/12/2013).

Selain Suraji, Hamidi mengaku didorong-dorong pada bagian kepala dan digiring oleh petugas. Tidak itu saja, kata Suraji, petugas menyita pula telepon seluler yang dimiliki warga. Tindakan tersebut rencananya akan dilaporkan ke Komnas HAM dan kepolisian.

Kepala Bidang Pengelolaan II Wilayah Liwa TNBBS Edi Susanto mengaku belum tahu soal kekerasan dan rencana pelaporan tersebut. "Saya tidak mendengar laporan itu, kami melakukan razia dengan cara persuasif, tidak ada pemukulan dan kekerasan," ujar dia saat dihubungi lewat telepon, Selasa. Namun bila terbukti ada bawahannya melakukan kekerasan terhadap warga saat menggelar razia itu, Edi berjanji akan memberikan tindakan tegas.

Menurut petugas, ratusan warga Suku Marga Semende yang tinggal di dalam TNBBS adalah perambah hutan. Namun, warga menyatakan mereka adalah masyarakat adat setempat yang sudah tinggal di kawasan itu sejak 1819 dengan bukti tertulis tentang adat suku Marga Semende.

Warga mengatakan, pada 1942 mereka meninggalkan dusun Banding Agung yang sekarang menjadi kawasan TNBBS karena wabah penyakit atom, semacam cacar yang menular. Pada 1959 mereka memeriksa ulang wilayah itu dan memutuskan kembali ke sana setelah dipastikan tak ada lagi wabah menular.

Pada 1982 Menteri Pertanian mengeluarkan surat Nomor 736/Mentan/1982 yang menetapkan kawasan itu sebagai Taman Nasional. Di sinilah konflik antara taman nasional dan warga adat tersebut mulai terjadi.

Ketua Badan Pengurus Harian Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Wilayah Bengkulu, Defri Tri Hamdi, menyebutkan berdasarkan keputusan Mahkamah Konstitusi Nomor 35/PUU-X/2012 tentang pengeluaran hutan adat dari hutan negara, seharusnya pemerintah menerapkan aturan itu tidak dengan sembarang mengusir masyarakat dari taman nasional apalagi sampai menetapkan mereka sebagai tersangka.

"Pemerintah dan aparat penegak hukum harus memahami putusan MK, itu ada catatan khusus bahwa jika mereka masyarakat adat maka mereka berhak menempati wilayah tersebut," tegas Defri. Dia pun menyatakan kekecewaaannya karena polisi tak merujuk putusan itu sebelum menjerat warga dengan delik hukum. Defri pun mengatakan, sekarang mereka sedang menyiapkan pengacara untuk keempat warga.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com