Oleh:

JAKARTA, KOMPAS.com- ”Kami harus kuat menjalani kehidupan dengan menunggu anugerah Tuhan dari peristiwa letusan Gunung Sinabung ini. Kami percaya bahwa Gunung Sinabung ciptaan-Mu, Engkaulah yang mengatur ciptaan-Mu untuk kebaikan kehidupan kami. Amin.”

Itulah sepenggal doa yang dibaca sekitar 300 anggota jemaat dipimpin Pendeta Yunus Bangun di Gereja Batak Karo Protestan Simpang VI Kabanjahe, Kabupaten Karo, Sumatera Utara, Kamis (19/12) malam. Dengan diiringi derai hujan, mereka khusyuk memanjatkan doa, yang diucapkan dalam bahasa lokal, kepada Tuhan.

Pendeta Yunus berpesan, bencana Gunung Sinabung merupakan ujian. Hamba Tuhan diimbau agar yakin, ujian akan berlalu dan memberikan manfaat bagi manusia.

Jemaat yang mengikuti kebaktian malam itu merupakan pengungsi dari Posko Pengungsian Simpang VI, Kecamatan Kabanjahe, sekitar 20 kilometer dari puncak Sinabung. Lokasi pengungsian persis di belakang gereja tempat mereka kebaktian. Di sana berkumpul 433 warga yang berasal dari Desa Guru Kinayan, Kecamatan Payung, dan Desa Kuta Tengah, Kecamatan Simpang Empat.

Mereka merupakan bagian dari 18.186 warga yang hampir tiga bulan terakhir mengungsi lantaran Gunung Sinabung terus menggeliat. Letusannya menghasilkan material vulkanik, seperti abu dan kerikil, yang membahayakan warga.

Suyat Sitepu (60), pengungsi dari Desa Guru Kinayan, hanya memakai jaket biru tua yang memudar warnanya. Sudah sebulan jaket penghalau dingin itu tak dilepasnya. Celananya ternoda lumpur, demikian juga sandalnya yang berselimut lumpur kering. Maklum, dalam sepekan terakhir, Kabupaten Karo dilanda hujan deras. Lokasi pengungsian pun becek.

Sejak awal kebaktian sampai penutupan doa, Suyat tak beranjak dari tempat duduknya. Sesekali dia memejamkan mata seolah membayangkan berhadapan langsung dengan Tuhannya. ”Saya ingin mengatakan kepada Tuhan bahwa malam ini saya bahagia meskipun Natal di pengungsian. Saya yakin Tuhan tidak akan membiarkan hamba-Nya menderita,” ujarnya seusai kebaktian.

Keluarga besar

Keesokan hari, sekitar 11 kilometer dari tempat Suyat mengikuti kebaktian Natal, Kristina Karo-karo (40) duduk dengan tatapan kosong di Pengungsian Sempajaya, Desa Peceren, Kecamatan Berastagi. Dia bahkan tak menghiraukan saat anak dan keponakannya, Unjuk Ginting (10) dan Agnes Sitepu (10), berlarian di sekelilingnya.

Kristina yang berasal dari Desa Naman, Kecamatan Naman Teran, ini gundah lantaran Sinabung tak kunjung reda dan dia tak dapat pulang ke rumah.

”Biasanya saya sisihkan uang Rp 2 juta untuk beli baju dan sepatu anak-anak. Juga menyiapkan kue kering dan makanan untuk Natal. Sekarang uang untuk bayar toilet saja tidak ada lagi,” ujar ibu tiga anak ini.

Kebun sayur seluas 600 meter persegi milik Kristina rusak tertutup abu vulkanik. Pada masa awal mengungsi, dia masih bisa menjadi buruh tani (aron) dengan penghasilan sekitar
Rp 50.000 per hari di lahan-lahan tersisa yang terhindar dari hujan abu. Namun, sebulan terakhir pemilik lahan itu pun ikut mengungsi.

Semburan abu vulkanik menyebabkan lahan seluas 27.000 hektar rusak dan produktivitasnya menurun hingga 40 persen. Sebanyak 2.210 hektar lahan di antaranya mengalami puso atau sama sekali hasilnya tak dapat dinikmati. Total kerugian mencapai Rp 57 miliar.

Meskipun sedih, Kristina masih menyimpan kebahagiaan lantaran anak bungsunya, Unjuk Ginting, tidak pernah merengek meminta baju baru. ”Gapapa tidak ada baju dan sepatu baru. Kawan-kawan lain juga sama,” kata Unjuk.

”Di sini orangnya baik-baik. Suka menolong. Makanan ada dan tidak berebut,” ujarnya.