Mayoritas pengungsi merupakan penduduk desa di radius 5 kilometer dari puncak Sinabung. Desa Sukameriah, misalnya, berada sekitar 2,5 kilometer dari puncak gunung setinggi 3.300 meter dari permukaan laut itu. Para pengungsi umumnya adalah petani sayuran, jeruk, kopi, dan cokelat.
Dua bulan lebih berada di pengungsian membuat warga mulai jenuh. Apalagi warga dilarang kembali ke desa meski sekadar melihat tanaman ataupun hewan peliharaan. Karena itu, banyak pengungsi bersedia menandatangani surat pernyataan siap menanggung risiko jika secara tiba-tiba Sinabung erupsi untuk dapat menengok tanaman dan hewan peliharaan di desa.
”Mau bagaimana lagi, masih ada biji cokelat dan kopi yang bisa dipanen. Sayang kalau tidak diambil walau penuh risiko,” kata Ika Beru Sitepu (32), warga Desa Simacem, Kecamatan Naman Teran, di posko pengungsian di kampus Universitas Karo Area Kabanjahe.
Warga yang tak mau berisiko memilih mengupah orang lain untuk melihat tanaman mereka. Konsekuensinya, upah buruh tani lebih mahal daripada biasanya, yaitu Rp 70.000, dari sebelumnya Rp 50.000 per hari.
Aktivitas Sinabung pun tak kunjung turun dari level IV atau Awas sehingga pemerintah tidak mau mengambil risiko membiarkan masyarakat kembali ke desa masing-masing.
Apalagi, saat ini, menurut Kepala Sub Bidang Pengamatan dan Penyelidikan Gunung Api Wilayah Barat Hendra Gunawan, posisi magma semakin mendekati puncak. Kegempaan Sinabung menunjukkan tren meningkat, seperti gempa vulkanik dangkal, gempa hybrid, dan frekuensi rendah. Bahkan, gempa tremor semakin sering.
”Meningkatnya aktivitas Sinabung adalah alasan utama pemerintah menahan warga di pengungsian,” kata Hendra. Dia mengatakan, sangat sulit memprediksi kapan gunung akan meletus.
Pengungsi umumnya tidak kekurangan makanan. Namun, karena terlalu lama di pengungsian, rasa jenuh menghampiri. Bahkan, mulai muncul perselisihan di antara pengungsi beda desa yang berada di satu lokasi meski hanya soal sepele seperti pembagian jatah tak merata.
Karena itu, salah satu upaya mengurangi kejenuhan dan mengikis perseteruan, yakni pengungsi diberi kesibukan memasak makanan sendiri. Bahan untuk memasak tersedia di posko. Meski begitu, ada saja cara pengungsi mendapatkan sayur-mayur untuk dimasak karena bosan dengan bahan makanan yang tersedia.
Stok makanan dan minuman bagi pengungsi masih terpenuhi untuk beberapa hari ke depan yang merupakan bantuan pemerintah pusat, provinsi dan kabupaten, swasta, lembaga swadaya masyarakat, dan organisasi. Kebutuhan lainnya, seperti selimut dan tikar, dilengkapi sehingga pengungsi bisa nyaman.
Menurut Makmur Beru Sitepu (48), warga Desa Kuta Rakyat, persoalan lainnya selama di pengungsian adalah tidak adanya penghasilan. Padahal, biaya pendidikan anak tidak bisa berhenti. Untuk memenuhi biaya sekolah anak, baik SMP, SMA, maupun perguruan tinggi, banyak pengungsi memilih menjadi buruh tani dengan upah Rp 50.000 per hari.
Permintaan tenaga buruh juga mengalir dari beberapa desa di sekitar Kabanjahe dan Brastagi. Kebutuhan akan dana tidak hanya untuk biaya sekolah anak, tetapi juga untuk memenuhi keperluan pribadi.
”Tekanan darah saya naik terus karena ingat harta benda dan tanaman kopi di kampung. Jadi, banyak yang stres karena tidak ada kegiatan, sementara kembali ke desa sangat tidak mungkin,” ujar Makmur.
Pada rapat koordinasi di Kabanjahe, kordinator lapangan dari sejumlah posko mengeluh pengungsi tidak tertib karena banyak yang kembali ke desa secara diam-diam. Meski terus diinformasikan bahwa Sinabung bisa mendadak meletus, mereka tidak peduli.